KABARBIREUEN- Perempuan 45 tahun itu sudah 15 tahun menekuni pekerjaan pembuatan opak  di tempat tinggalnya di Dusun Mata Ie, Desa Blang Ketumba, Kecamatan Juli, Bireuen.

Siang itu, wanita itu tampak menjemur opak (kerupuk dari Ubi Kayu) yang baru selesai dibuat bersama putri sulung itu di terpal plasti di sebuah kebun rambutan tak jauh dari rumahnya.

”Tiap hari kita buat dan nantinya dijual ke penampung di pasar pagi Bireuen dengan harga Rp2500 per ikatnya. Dimana satu ikat berisi 10 opak,” sebut Ibu lima anak bernama Sarmi itu kepada KoranBireuen, Minggu (19/3/2017).

Dengan modal Rp 100 ribu untuk membeli ubi kayu seberat 50 kilogram, dia mampu menghasilkan opak lebih kurang 100 ikat. Jika dikalkulasikan, maka dalam sehari dia memperoleh Rp150 ribu, bila dikurangi modal yang dikeluarkan Rp100 ribu, maka keuntungan yang didapat Rp50 ribu. “Kalau kalau beli ubi 40 kg, dapat 90 ikat.

Usaha pembuatan opak tersebut dibantu anak sulungnya, Safrina. Putri pertamanya itu lulusan PGSD Universitas Almuslim itu selan membantu ibunya membuat opak, dia juga menjadi guru honorer di SD Paya Cut, Kecamtan Juli.

“Saya ngajar 3 kali dalam seminggu, honor perbulan Rp100 ribu, yang dibayar tiga bulan sekali Rp300 ribu,“ sebut Safrina saat disambangi KoranBireuen sedang membuat opak di dapur rumahnya.

Sedangkan anak kedua dan ketiganya, Rahmat Sayuti dan Suhelmi yang hanya tamata SMP itu juga bekerja membantu membuat opak di rumah saudaranya Sarmi.

Sementara putra keempatnya, Musri saat ini duduk di bangku kelas 3 SMP dan si bungsu Anna Safira (10) sekolah di MIN.

Selain membuat opak, Sarmi juga bekerja menjadi buruh gosok (setrika pakaian) di rumah tetangganya dan di Asrama Yonif 113/JS. “Perbulan dapat gaji Rp50 ribu dari satu rumah, biasa kita setrika di enam rumah. Saya bekerja menggosok baju di enam rumah, penghasilan dari menggosok itu bisa membantu keuangan keluarga,” sebutnya.

Sarmi kini menjadi tulang punggung keluarganya sejak suaminya, Rasyidin (50) menderita stroke 2 tahun yang lalu.

Sebelumnya, sang suami bekerja di perkebunan sawit, namun tiba-tiba dua tahun lalu dia terjatuh di depan rumahnya dan menderita stroke.

“Setelah jatuh itu kita sempat bawa ke rumah sakit, namun tak ada perubahan apapun, karena itu tak dibawa lagi,” ungkap Sarmi.

Kalau ada yang mau membantu, dia berharap bantuan kursi roda untuk suaminya agar bisa sekedar keluar rumah, tak hanya terus-terusan terbaring atau duduk di dalam rumah saja. (Ihkwati)