KABAR BIREUEN, Bireuen – Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen memfasilitasi proses perdamaian dua kasus penganiayaan yang melibatkan tersangka DF dan J dengan para korban, sebagai dasar pengusulan penghentian penuntutan melalui mekanisme keadilan restoratif (restorative justice).
Upaya perdamaian tersebut dipimpin langsung Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bireuen, Munawal Hadi, S.H., M.H, bersama Jaksa Fasilitator, di Kantor Kejaksaan Negeri Bireuen, Rabu (25/6/2025). Hadir dalam proses ini pihak keluarga korban, kedua tersangka, serta perangkat gampong masing-masing.
“Perdamaian ini menjadi bentuk nyata pelaksanaan keadilan restoratif sebagaimana amanah Jaksa Agung. Kedua belah pihak sudah sepakat damai dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya,” ujar Kajari Munawal Hadi kepada wartawan.
Dia meyampaikan kronologis kejadiannya. Kasus pertama terjadi pada Senin, 28 April 2025, sekitar pukul 08.00 WIB. Saat itu, korban tengah berjualan mie di warung kopi DEFI, Desa Ulee Gle, Kecamatan Makmur, Kabupaten Bireuen. Saat menuju tempat cuci piring di belakang warung tersebut, korban menyapa tersangka DF yang sedang duduk di balai belakang.
Korban berkata, “Kiban na can” (Gimana, ada rezeki selama ini?). Namun, setelah beberapa langkah berjalan ke depan warung, DF tiba-tiba memukul kepala korban dari belakang, lalu memukul pundak dan perutnya. Usai kejadian, korban langsung melaporkan tindakan tersebut ke Polsek Makmur.

Sementara itu, kasus kedua terjadi sehari setelahnya, Selasa 29 April 2025 sekitar pukul 19.00 WIB. Tersangka J mengundang korban ke rumahnya di Desa Seuneubok Aceh, Kecamatan Peulimbang, untuk membicarakan masalah pribadi terkait kakak korban.
Saat sampai di lokasi bersama kakaknya, korban terlibat cekcok mulut dengan tersangka J. Diduga karena merasa terancam, tersangka langsung memukul korban di bawah telinga kiri hingga korban terjatuh.
Atas perbuatan tersebut, DF dan J dijerat Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan dengan ancaman hukuman paling lama 2 tahun 8 bulan penjara. Namun, karena telah tercapai kesepakatan damai antara para pihak, Kejari Bireuen mengajukan proses restorative justice.
“Kami akan meneruskan pengusulan ini ke Kejaksaan Tinggi Aceh untuk dilakukan ekspose bersama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum). Mudah-mudahan disetujui untuk dihentikan penuntutannya,” jelas Munawal.
Menurutnya, langkah Kejari Bireuen ini merupakan bagian dari komitmen lembaga Adhyaksa untuk menyelesaikan perkara ringan secara damai, dengan mengedepankan nilai-nilai musyawarah, keadilan sosial, serta pemulihan hubungan antarwarga di masyarakat. (Suryadi)