
KABAR BIREUEN – Bisnis cafe atau coffe shop (warung kopi) dengan konsep modern, semakin berkembang saja di Aceh, tak terkecuali di Bireuen. Di Kota Juang ini, hampir tiap bulan ada saja dibuka cafe baru.
Berbagai interior pun dikemas semegah mungkin, untuk menarik minat pengunjung. Para pengusaha cafe seakan berlomba-lomba mendesain tempat yang teduh dan nyaman bagi pelanggan untuk bersantai, sambil menikmati minuman dan makanan.
Kantin PWI pun tak mau kalah kreatif. Kantin yang terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda No. 11 Bireuen, ini memadukan konsep warung kopi tradisional Aceh dengan modern. Sehingga, perpaduan kedua konsep tersebut, melahirkan warung kopi tradisional kekinian.
Interiornya memang tidak semewah cafe lain. Kantin PWI hanya berinterior sederhana. Dinding terbalut wallpaper beberapa macam motif yang semarak dan indah, dengan warna dominannya biru muda.
Namun, perbedaan yang sangat kentara antara Kantin PWI dengan cafe lain, terletak pada menu penganannya. Di kantin ini, lebih memfokuskan pada penganan tradisional Aceh yang natural.
Menurut pengelola cafe tersebut, Suryadi, dirinya memang sengaja lebih menonjolkan penganan tradisional Aceh di Kantin PWI. Itu bukan berarti mengenyampingkan keberadaan beragam jenis minuman yang juga tersedia di situ.
Alasannya, selama ini dia mengamati kebanyakan cafe terkesan tidak begitu menganggap penting keberadaan camilan. Sepertinya, kue hanya sebagai pelengkap. Yang lebih diutamakan adalah minumannya.
“Biasanya kalau sudah ada camilan kering, sudah cukup. Seperti kacang, kerupuk dan kue kering lainnya. Padahal, pengunjung kadang-kadang ingin juga menikmati kue basah yang bisa mengenyangkan,” ujar Suryadi di sela-sela acara peusijuek kantin tersebut, Senin (22/3/2021).

Berdasarkan pengalamannya mengunjungi sejumlah cafe itulah, dia mencoba melengkapi kekurangan penganan di kebanyakan warung kopi di Bireuen. Pilihannya jatuh pada kudapan warisan indatu (leluhur).
Penganan herbal tersebut di antaranya dughok, eungkhui, limpeng, boh bi teutop, pisang reuboh, sagee teuwot, boh rom-rom, timphan dan lainnya. Selain tanpa pengawet dan pewarna buatan yang bisa merusak kesehatan, makanan ureung Aceh awai tersebut juga mengenyangkan dan bisa jadi pengganti sarapan.
Suryadi meyakini, makanan orang Aceh tempo dulu itu, masih layak saji dan diminati masyarakat kita sekarang. Apalagi jika ingin bernostalgia atau mengingat momen-momen indah saat masih kanak-kanak dulu. Pasti salah satu hal yang paling membuat kangen dan ingin kembali memutar ingatan ke masa lalu, dengan menikmati kuliner yang biasa kita makan saat itu.
Menurut dia, penganan Aceh tempo dulu juga memiliki cita rasa yang lezat dan tidak berdampak buruk bagi kesehatan. Sayangnya, lama-kelamaan kuliner tradisional ini seakan tenggelam dimakan waktu, seiring munculnya tren makanan luar yang dinilai lebih menarik. Meski itu belum tentu ramah bagi kesehatan.
Namun, sekarang fenomena bangkitnya kuliner tradisional yang berinovasi dan beradaptasi dengan perkembangan zaman, mulai kembali digandrungi masyarakat. Apalagi, sekarang semakin banyak orang menerapkan gaya hidup sehat. Salah satunya dengan tren “back to nature” atau kembali ke alam.
Selain kudapan tradisional Aceh tersebut, di Kantin PWI juga disediakan berbagai jenis minuman. Seperti kupi sareng, espresso, sanger, kupi pineung, kelapa muda jelly, ie raminet (limun) dan minuman lainnya yang sangat cocok dinikmati bersama kue khas Aceh tadi.
“Kami memang menawarkan sesuatu yang berbeda di tengah pesatnya perkembangan bisnis cafe di Bireuen. Kami ingin memadukan konsep warung kopi tradisional dan cafe modern, dengan mengandalkan kuliner khas Aceh tempo dulu,” ujar Suryadi yang juga Ketua PWI Bireuen ini.
Sasaran konsumennya untuk usia kisaran setengah baya, baik laki-laki maupun perempuan yang dulunya sudah pernah menikmati penganan tersebut. Sedangkan bagi yang berusia menengah ke bawah dan belum pernah merasakan lezatnya kudapan Aceh tempo dulu itu, juga tidak dilarang menikmatinya.
Saat acara peusijuek Kantin PWI hari itu, para undangannya juga berusia muda dan paruh baya. Mereka terheran-heran begitu melihat kue yang disajikan tidak seperti biasa. Selain bulukat kuneng yang memang sudah lazim disajikan di acara peusijuek, juga turut dihidangkan sejumlah penganan khas Aceh tempo dulu.

Yang sangat menyita perhatian mereka adalah dughok dan eungkhui. Sebab, kedua penganan ini sudah agak langka orang membuatnya. Bahkan, ada di antara undangan yang sama sekali belum pernah melihat dan mendengar nama makanan khas Aceh itu.
“Kalau saya, sudah lama mengenalnya. Itu salah satu jenis makanan sehari-hari kami dulu, sebagai pengganti nasi. Cuma, sudah lama saya tidak memakannya. Baru sekarang bisa menikmati kembali eungkhui ini,” komentar M. Yusuf, salah seorang undangan, sambil melahap kudapan kenyal itu bersama meulisan (manisan enau).
Nah, bagi Anda yang juga ingin merasakan bagaimana enaknya penganan khas Aceh tempo dulu, silakan berkunjung ke Kantin PWI, Jalan Sultan Iskandar Muda No. 11 Bireuen atau di lintasan Jalan Medan-Banda Aceh, kawasan Tutue Meuria. Di situ Anda bisa menikmati sensasinya rasa eungkhui dan dughok bersama berbagai jenis minuman, sambil bernostalgia ke masa lalu. (Ihkwati)