Oleh: M. ZUBAIR, S.H.,M.H.
Kadis Kominfo dan Persandian
Kabupaten Bireuen
SEORANG pujangga besar Yunani bernama Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “Zoon Politicon” yang berarti manusia itu ditakdirkan untuk hidup sebagai makhluk sosial dalam masyarakat yang luas. Manusia harus hidup bermasyarakat atau hidup bersama-sama dengan manusia lain dikarenakan manusia itu saling membutuhkan antara satu sama lainnya. Dengan hidup sesamanya akan memperoleh segala kebutuhan, guna hidup layak sebagai manusia.
Dalam hidup bersama itu akan timbul berbagai kepentingan di antara sesamanya. Oleh karena adanya bermacam-macam kepentingan, maka diperlukan suatu aturan hukum untuk mengatur berbagai kepentingan tersebut, sehingga timbul lembaga-lembaga yang mengaturnya seperti lembaga jual beli, pinjam meminjam, gadai-menggadai, hibah, waris dan sebagainya.
Dengan demikian jelaslah bahwa hukum itu diperlukan dan tumbuh dalam masyarakat itu sendiri yang merupakan gejala sosial, artinya suatu gejala yang terdapat di dalam masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertujuan untuk mengutamakan ke arah keseimbangan daripada segala macam kepentingan yang terdapat dalam masyarakat, sehingga dapat dihindarkan timbulnya kekacauan dalam masyarakat juga.
Ada sebuah adagium yang berbunyi “ubi sociatas ibi ius” yaitu di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Adagium yang diucapkan Cecero ini sudah merupakan pendapat yang diterima masyarakat modern, atau dengan pendapat modern sekarang ini lebih dikenal dengan istilah “hukum terdapat di seluruh dunia, asal ada masyarakat pasti ada hukum”. Pendapat ini telah menghilangkan pendapat kuno yang menyatakan bahwa hukum itu hanya terdapat dalam masyarakat yang beradab saja, sedangkan masyarakat primitif belum ada hukum.
Namun, dalam kehidupan masyarakat primitif pun telah dijumpai pula peraturan-peraturan atau kebiasaan adat-istiadat dan lainnya yang dihormati, diindahkan serta dipertahankan berlakunya. Jadi inilah yang merupakan bentuk-bentuk permulaan timbulnya peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian jelaslah bahwa hukum itu sudah ada dalam masyarakat sejak zaman dahulu sampai sekarang yang selalu dijunjung tinggi oleh anggota kelompok masyarakat itu sendiri.
Prof. Kusumadi Pujosuwoyo mengatakan, bahwa masyarakat yang anggota-anggotanya hidup di bawah tata hukum yang sama disebut masyarakat hukum. Terhadap istilah masyarakat hukum ini sebagian sarjana menganggap lebih tepat dinamakan “persekutuan hukum”. Untuk negara Indonesia, persekutuan hukum yang terkecil adalah desa dan yang terbesar adalah negara Republik Indonesia.
Untuk itu, negara sebagai persekutuan hukum terbesar berkewajiban memberi jaminan kepada masyarakatnya agar bisa hidup tenteram yang diwujudkan degan pembentukan peraturan-peraturan hukum. Bahkan, bila kita melihat lebih jauh lagi mengenai sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia secara tegas dinyatakan, Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum “rechstaat” bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka “machstaat”.
Berdasarkan sistem tersebut maka pada hakekatnya hukum ditaati oleh anggota masyarakat karena:
1. Sungguh-sungguh dirasakan sebagai peraturan hukum, sehingga mereka berkepentingan akan berlakunya peraturan-peraturan itu.
2. Merasa wajib menerima peraturan itu supaya ada ketenetraman dalam masyarakat.
3. Karena ada paksaan berupa ancaman atau hukuman kalau tidak menaatinya.
Dari pengertian Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum maka tidak bisa ditawar-tawar lagi kalau negara berkewajiban sepenuhnya atas perlindungan hukum bagi warganya. Di saat masayarakat Indonesia telah menyatakan sepakat bahwa negara Indonesia adalah persekutuan hukum terbesar yang harus melindungi mereka agar tercipta ketentraman lahir dan batin, maka pemerintah melalui aparatnya harus mampu mengaplikasikan perlindungan hukum tersebut.
Pengaplikasian tersebut juga telah diajarkan dalam ilmu Antropologi Budaya yang menyebutkan bahwa kaedah atau norma hukum itu berbeda dengan kaedah atau norma lainnya, karena kaedah atau norma hukum tersebut harus dipertahankan oleh suatu pemerintah negara. Dengan demikian, norma hukum sebagai suatu ketetapan yang diikuti oleh masyarakat merupakan aturan-aturan atau petunjuk-petunjuk dalam hidup bermasyarakat dan dijamin keefektifan pelaksanaannya sebagai perwujudan untuk menciptakan ketenteraman.
Dengan adanya jaminan perlindungan dari negara maka masyarakat akan merasa adanya penghargaan terhadap dirinya serta ada keamanan terhadap harta bendanya dan kepentingan-kepentingannya yang lain. Bila jaminan itu dapat diberikan pemerintah serta mampu dijaga oleh masyarakatnya, maka akan terlihat kehidupan masyarakat sebagai suatu susunan organisasi yang hidup dan berjalan teratur tanpa ada perasaan was-was dalam melaksanakan aktivitas demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Untuk bisa menjamin terlaksananya norma hukum tentu diperlukan ada suatu upaya yang bersifat memaksa dari penguasa, sehingga dalam ilmu hukum dikenal dua sifat khas norma hukum yaitu:
a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tatatertib masyarakat dengan alat-alatnya.
b. Sifatnya umum (berlaku untuk siapa saja).
Paksaan di sini tentu tidak bisa dijalankan semau-maunya saja, melainkan dalam hal kepentingan seseorang ataupun masyarakat untuk menciptakan ketenteraman. Selanjutnya harus diingat pula bahwa paksaan itu bukan tujuan norma hukum, melainkan jalan usaha untuk tegaknya hukum. Sebagai contoh norma hukum tersebut yaitu “siapa yang melakukan pembunuhan dihukum 15 tahun penjara (pasal 338 KUHP)”. Di sini jelas sifatnya memaksa karena sanksinya tidak dapat dihindari oleh pelanggar ketentuan.
Sifat paksaan dalam penerapan hukum menurut Utrech adalah karena hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia. Dengan adanya kepastian hukum itu, dapat dilihat bahwa hukum bertujuan untuk menjamin keadilan dan wajib membawa faedah dalam masyarakat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum sebagai gejala sosial yang hidup dan selalu diperlukan dalam masyarakat, guna memberi ketenangan dan kenyamanan perlu ditegakkan dengan adanya kepastian hukum. [*]