KABAR BIREUEN, Bireuen – Sebagai bentuk keprihatinan atas lambannya penanganan bencana banjir Sumatra (Aceh, Sumut, dan Sumbar), Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Bireuen menggelar aksi damai di depan Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Bireuen, Cot Gapu, Senin (22/12/2025).
Dalam aksi tersebut, mereka mendesak pemerintah pusat agar menetapkan banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra sebagai bencana nasional. Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Bireuen juga menuntut penegakan hukum tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan yang diduga sebagai penyebab utama bencana.
Aksi yang diikuti belasan peserta dari unsur pemuda dan mahasiswa itu berlangsung sekitar setengah jam, mulai pukul 11.30 hingga 12.10 WIB.
BACA JUGA: 12.752 Rumah di Bireuen Hilang dan Rusak Akibat Banjir
Para demonstran membentangkan spanduk dan poster berisi kecaman terhadap maraknya perambahan hutan, alih fungsi lahan, serta aktivitas pertambangan dan perkebunan skala besar yang dinilai memperparah kerusakan lingkungan dan meningkatkan risiko banjir.

Sejumlah orator, di antaranya Mauliadi, Syawal Fitra, dan M. Amin, secara bergantian menyampaikan pernyataan sikap dan tuntutan. Mereka menegaskan, banjir yang terjadi di Sumatra bukan semata bencana alam, melainkan akibat kerusakan lingkungan yang berlangsung secara sistematis dan terkesan dibiarkan.
“Banjir bandang yang merenggut korban jiwa dan menghancurkan rumah warga ini bukan takdir alam semata. Ini adalah akibat dari pembiaran perambahan hutan dan lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan,” tegas Mauliadi dalam orasinya.
Aliansi tersebut menilai, kerusakan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) di Sumatra semakin parah akibat praktik illegal logging, izin konsesi yang bermasalah, serta lemahnya pengawasan pemerintah. Dampaknya, kemampuan alam menahan debit air menurun drastis, sehingga masyarakat kecil menjadi korban.
BACA JUGA: Akibat Banjir Bandang, Sejumlah Fasilitas Kampus UMMAH Bireuen Rusak
“Keuntungan ekonomi hanya dinikmati segelintir pihak, sementara kerugian ekologis dan sosial ditanggung rakyat,” ujar Syawal Fitra di hadapan peserta aksi.
Dalam pernyataan kritisnya, massa aksi juga menyoroti lemahnya peran negara dalam mengawasi dan menindak perusahaan yang terbukti merusak lingkungan. Mereka menilai, instrumen seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kerap hanya dijadikan formalitas administratif, bukan alat perlindungan lingkungan hidup.

Melalui aksi tersebut, Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Bireuen menyampaikan sejumlah tuntutan, di antaranya pencabutan izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan, pelaksanaan audit lingkungan secara menyeluruh di wilayah rawan banjir, rehabilitasi hutan dan DAS secara nyata dan berkelanjutan, serta penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelaku kejahatan lingkungan.
BACA JUGA: Banjir Bandang Luluhlantakkan Sekolah di Makmur, Data Siswa Terendam dan Pagar Roboh
“Negara wajib hadir sebelum, saat, dan setelah bencana. Perlindungan lingkungan hidup adalah kewajiban konstitusional, bukan pilihan kebijakan,” teriak Syawal Fitra dalam orasinya.
Massa aksi dalam pernyataannya menegaskan, penetapan banjir Sumatra sebagai bencana nasional penting agar penanganan dilakukan secara lebih serius, terkoordinasi, dan menyeluruh, baik dari sisi kemanusiaan maupun pemulihan lingkungan. Mereka juga menekankan, perlunya melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengawasan kebijakan lingkungan.
Aksi unjuk rasa itu berlangsung aman dan damai. Setelah menyampaikan aspirasi dan pernyataan sikap, peserta aksi membubarkan diri dengan tertib. (Suryadi)










