Syakir Sulaiman. (instagram.com/syakirsulaiman92)

PENANGKAPAN Syakir Sulaiman, mantan pemain Timnas Indonesia U-23, menjadi tamparan keras bagi dunia olahraga tanah air. Dia diciduk di kediamannya, Cianjur, Jawa barat, Selasa (5/11/2025), karena memiliki dan mengedarkan obat-obatan terlarang.

Pesepak bola asal Muara Batu, Aceh Utara, ini dikenal karena kepiawaiannya mengolah si kulit bundar. Syakir juga menjadi kebanggaan masyarakat Aceh yang bisa mengharumkan nama Indonesia. Namun, hari ini nama besar Syakir tercoreng akibat keputusannya yang menyimpang dari nilai-nilai olahraga dan kehidupan yang sehat.

Cedera berkepanjangan yang dialaminya saat membela Aceh United FC, memaksa Syakir harus berhenti bermain bola. Hal ini sekaligus menghancurkan kariernya yang dulu pernah dinobatkan sebagai pemain muda terbaik ISL 2013, saat memperkuat Persiba Balikpapan.

Tanpa penghasilan tetap dari sepak bola, Syakir yang dulu memulai debutnya di klub PSSB Bireuen, kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Keputusasaan dan tekanan finansial, akhirnya mendorong Syakir pada pilihan berisiko. Dia nekat mengedarkan obat-obatan terlarang sebagai solusinya.

Sayangnya, keputusan Syakir tersebut tak hanya mencelakai dirinya sendiri, tetapi juga telah mencoreng citra atlet dan olahraga Indonesia secara keseluruhan.

Kita memang tidak sepakat dengan keputusan Syakir yang beralasan, dirinya terjerumus ke dalam perbuatan terlarang itu karena kesulitan ekonomi. Sebab, masih ada pekerjaan halal lainnya yang tidak berisiko hukum dan tak berakibat mencemarkan nama baiknya.

Terlepas dari persoalan tersebut, kasus ini telah membuka mata kita pada sisi lain kehidupan para mantan atlet yang kerap tidak punya pekerjaan tetap, setelah masa kejayaannya berlalu. Mereka yang pernah dipuja, sering kali harus berjuang sendiri ketika cedera atau tidak potensial lagi sebagai atlet.

Di negara lain, pemerintah dan organisasi olahraga menyediakan program yang membantu para mantan atlet untuk tetap hidup layak setelah pensiun, baik dengan menyediakan pekerjaan alternatif, pelatihan kewirausahaan, maupun bantuan finansial.

Namun, di Indonesia, program sejenis masih belum berjalan optimal. Akibatnya, banyak mantan atlet harus hidup dalam kemelaratan.

Sudah saatnya semua pihak, terutama pemerintah, klub-klub olahraga dan federasi, memberikan perhatian serius pada kesejahteraan atlet. Bukan hanya saat masih berkarier, tetapi juga setelah mereka pensiun sebagai atlet.

Pembinaan olahraga, semestinya memang tak hanya berfokus pada peningkatan prestasi atlet semata. Kesejahteraan mereka untuk jangka panjang, juga jangan luput dari perhatian pemerintah.

Pelatihan dan peluang kerja bagi mantan atlet perlu dikembangkan, sehingga mereka tidak jatuh ke dalam situasi sulit dan menyedihkan, seperti yang dialami Syakir Sulaiman.

Penangkapan Syakir Sulaiman menjadi cerminan dari kegagalan kita dalam memberikan dukungan yang layak bagi para atlet yang telah mengharumkan nama bangsa. Semoga kasus ini bisa menjadi pelajaran berharga agar tragedi serupa tidak terulang lagi. ***