Suasana rapat kisruh tapal batas Desa Leubu Mesjid dengan Trienggadeng di Aula Kantor Camat, Rabu (12/6/2024). Rapat tersebut dihadiri Camat Makmur, Kapolsek Makmur, Danramil Makmur, Imum Mukim Sukamakmur dan perwakilan Desa Leubu Mesjid dan Trienggadeng. (Foto: Faisal Ali/Kabar Bireuen)

KABAR BIREUEN, Makmur – Camat Makmur, Mukhsen, S.Ag beserta Muspika lainnya dan Imum Mukim Sukamakmur, memfasilitasi perselisihan batas desa antara Leubu Mesjid dengan Trienggadeng, di Aula Kantor Camat setempat, Rabu (12/6/2024) sekira pukul 14.00 WIB.

Kedua desa menghadirkan 15 orang perwakilan, berdasarkan hasil kesepakatan dengan Keuchik Leubu Mesjid Dahlan dan Pj Kechik Trienggadeng Khairul Amri pada Senin (10/6/2024).

Camat Makmur, Mukhsen, dalam sambutannya sebelum dimulai dengar pendapat antara kedua belah pihak yang berselisih paham, mengatakan, sawah yang belum dibajak agar segera dibajak. Nanti akan diundang pihak kabupaten, untuk mencari solusi yang lebih baik terhadap permasalahan tersebut.

“Hari ini kita mengharapkan kedua desa yang berselisih agar orang membajak sawah dapat menjalankan aktivitasnya. Tentang batas desa, kita selesaikan nanti. Jika tidak mungkin hari ini, diselesaikan setelah Hari Raya Idul Adha. Apalagi, kedua desa ini satu kemukiman dan tetangga sebelah lagi,” ujar Mukhsen

Camat Mukhsen juga menyebutkan, agar hal ini tidak memunculkan gejolak di masing-masing gampong. Diharapkannya, supaya dapat diredam karena hari ini yang hadir membawa aspirasi tempat sendiri.

Kapolsek Makmur, Ipda Iswahyudi, menyampaikan, agar persoalan ini dapat dicari jalan keluarnya. Jika mungkin, pisang dipotong dua karena di batas itu tidak ada sumur minyak yang harus diperebutkan. Istilahnya, nyang ubeut tapeugadoh (yang kecil kita hilangkan), supaya ini bisa diselesaikan yang terbaik.

“Karena di tapal batas ini tidak ada sumur minyak yang harus diperebutkan,” kata Kapolsek Makmur.

Imum Mukim Suka makmur, Tgk.Husaini, juga berharap dengan sangat permasalahan ini dapat diselesaikan dengan kepala dingin. Apalagi, kedua desa diibaratkan ibu dan anak dan termasuk satu kemesjidan. Jadi, jangan merasa tidak enak nantinya antara kedua belah pihak.

Kemudian Camat Makmur memberikan kesempatan kedua belah pihak. Pertama diberikan kesempatan bicara kepada Desa Leubu Mesjid.

M. Nur, mantan Keuchik Leubu Mesjid, menceritakan tentang batas Desa Leubu Mesjid. Menurut, dia batasnya adalah ateung rayeuk (pematang besar) di Paya Jungkat. M. Nur mengetahui itu karena di sana dia punya tanah milik orang tuanya.

Di sana juga tempat dirinya bermain waktu masih remaja. Bahkan, pematang besar tersebut termasuk dia ikut mengerjakannya karena waktu itu tidak ada orang di Desa Trienggadeng. Makanya, orang Leubu Mesjid yang membuat pematang itu.

Kemudian, kata M. Nur, masa Keuchik Thaib, sebelah timur itu adalah wilayah Leubu Mesjid dan saat itu orang ini banyak.

“Saat mengembala lembu di Cot Manyang, Kuta Lueng Keube sampai Urong Krek di pinggir lapangan Geurugoh atau Blang Kubu Gandapura sekarang, masih wilayah Leubu Mesjid,” jelas M. Nur.

Menyangkut batas Leubu Mesjid, Said Yusuf mengatakan, batas desa tersebut ketika masa itu diberikan oleh orang tua Desa Trienggadeng .

“Batas Desa Leubu Mesjid saat itu geubri le ureung tuha Gampong Trienggadeng,” sebut Tgk Said Yusuf

Di lain kesempatan, Faisal dari Leubu Mesjid juga menjelaskan, di Paya Jungkat ada tanah pusaka orang tuanya. Dari zaman dulu batas Leubu Mesjid di sana, baru sekarang muncul perdebatan ini. Sedangkan ketika Idris Aziz Keuchik Trienggadeng dan Jafar Ahmad Keuchik Leubu Mesjid, perselisihan tersebut tidak pernah muncul.

”Kenapa sekarang baru muncul, padahal sebelumnya tidak pernah ada. Ini timbul tanda tanya bagi saya,” sebut Faisal.

Faisal menambahkan, surat tanah wakaf mesjid pada tahun 1985 ditandatangani Keuchik Leubu Mesjid yang posisinya di Paya Jungkat. Jadi, kalau hari ini batas Trienggadeng dikatakan di sana, sungguh lucu.

Dia juga menyebutkan, tanah wakaf Mesjid Jamik Istiqamah banyak di sana. Kemudian oleh Desa Trienggadeng tidak membajaknya, ini karena orang tidak pergi khenduri blang (kenduri turun sawah).

“Kenapa harus khenduri blang, sementara itu wilayah Leubu Mesjid. Itu sebabnya mereka tidak datang. Semoga sawah itu dibajak karena tanah wakaf tersebut banyak yang kelola orang janda yang kemungkinan itu saja tanahnya,” kata Faisal.

Kawasan sawah belum dibajak di Paya Jungkat, termasuk wilayah Desa Leubu Mesjid yang diklaim Trienggadeng sebagai wilayahnya. (Foto: Faisal Ali/Kabar Bireuen)

Sementara Tgk. Idris, perwakilan Trienggadeng menceritakan, zaman dulu dikatakan Paya Jungkat sampai sebelah barat Trienggadeng. Kemudian, masa keuchik Thaib Leubu Mesjid dan Keuchik Adam Trienggadeng, diminta untuk dibersihkan oleh Leubu Mesjid. Sedangkan pembuatan pematang besar, menurutnya, untuk bisa dilewati lembu supaya bisa membajak sawah di sana.

“Membuat pematang besar itu untuk keperluan membawa lembu agar bisa membajak sawah di sana,” kata Tgk Idris.

M. Nur, utusan Leubu Mesjid membantah apa yang dikatakan Tgk Idris. Menurutnya, masa pengerjaan pematang besar itu, bukan masa keuchik Idris Aziz, tapi setelah merdeka Republik Indonesia. Sebab, dia berada di Paya Jungkat karena ada tanah orang tuanya di sana.

Tgk. Zainuddin dari Trienggadeng berujar, masalah batas ini sudah ada dari nenek kita. Seperti yang ditanya sama orang sekarang bahwa batas desanya sebelah timur adalah Paya Jungkat dan pematang besar. Memang yang mengerjakan pematang besar itu orang Leubu Mesjid karena orang Trienggadeng sedikit.

“Tapi, dikerjakan bukan berarti diberikan desa, namun dikasih tanah untuk menaman padi dan itu bukan batas desa, akan tetapi membuat itu untuk menahan air supaya tidak menuju Paya Jungkat,” ujar Zainuddin.

Menanggapi hal tersebut, Kapolsek Makmur, Ipda.Iswahyudi, menyebutkan, bukti otentik harus dibawa, seperti bukti pemekaran peta kedua desa dan ini harus ada pertemuan selanjutnya.

“Jangan sampai orang ini tidak pergi ke sawah. Jadi, itu diabaikan semua, seperti tidak kenduri blang. Itu masalah sesuap nasi orang. Jangan sampai permasalahan desa, kita mendhalimi orang karena orang itu banyak kebutuhan, ada anak-anak dan lain-lain,” jelas Kapolsek.

Sebelumnya Camat Mukhsen mengaku, sudah melihat sawah yang belum dibajak tersebut. Dia berharap, persoalan tapal batas jangan menjadi masalah dan ini belum selesai. Sebab, belum punya bukti dan ini pun masih fifty-fifty mengenai masalah denda. Jangan dipikirkan dulu ini karena belum jelas duduk perkaranya.

”Jadi saya akan berkonsultasi dengan pihak kabupaten, kapan mereka turun. Sekarang harus ada petanya. Kalau zaman dulu, batasnya pohon kedondong dan saya berharap orang bisa ke sawah,” harap camat.

Faisal berpendapat, masalah kisruh tapal batas dikembalikan saja ke dasar, biar orang bisa ke sawah. Apalagi, di situ ada tanah wakaf Mesjid Jamik Istiqamah. Tanah tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja sehingga tidak ada hasinya untuk mesjid.

“Tentang orang tidak pergi khenduri blang, jangan dijadikan masalah tidak membajak sawah terus jangan didenda lagi,” tegas Faisal.

Lain halnya dengan pendapat orang Trienggadeng, Tgk. Zainudin dan Fahkrurazi, mantan keuchik. mengatakan, siapa yang tidak kenduri blang apakah dia orang miskin atau orang kaya dendanya Rp500 ribu.

”Masalah bajak sawah harus letakkan uang denda dulu Rp500 ribu, dan itu bukan seorang yang buat aturan, tapi satu desa,” ujar Zainuddin

Menengahi masalah itu, Camat Makmur menyarankan agar denda menjadi Rp100 ribu saja supaya tidak menyulitkan kedua belah pihak.

Faisal menyarankan kepada Camat Makmur, karena belum ada titik temu, supaya denda dan segala macam untuk orang Leubu Mesjid yang tidak khenduri blang, jangan dibebankan karena menunggu datangnya pihak kabupaten untuk menyelesaikan perdebatan ini.

“Tanah tersebut harus dibajak. Masalah tetap masalah, tapi sawah harus dibajak,” cetus Faisal

Imum Mukim Sukamakmur, Tgk. Husaini, juga berpendapat demikian. Kalau bisa tanah wakaf untuk kali ini tetap dibajak dan tidak lagi berlaku denda. Untuk waktu ke depanya, harus ada kesimpulan dari kecamatan atau kabupaten, Paya Jungkat itu masuk wilayah mana.

Ismalinur, Sekdes Leubu Mesjid juga berujar begitu. Menurut dia, peraturan sudah kedua kali, tapi kajiannya bukan begitu. Diakuinya, memang dulu pernah duduk di Desa Trienggadeng untuk meluruskan denda yang tidak menghadiri kenduri blang.
”Beda cerita dulu dan sekarang,” kaji Ismalinur

Kalau dulu, yang tidak dibajak sawah di pinggir jalan Leubu. Sementara sekarang ini sengketa belum jelas. Karena tapal batas belum jelas, tidak mungkin didenda karena yang diklaim Trienggadeng wilayahnya Paya Jungkat. Dan itu masih termasuk peta Leubu Mesjid. Bahkan, dia lama duduk sebagai sekretaris desa, belum pernah sengketa tapal batas ini muncul.

”Yang buat surat tanah di kawasan Paya Jungkat yang ditandatangani keuchik Leubu Mesjid. Jika memang nanti kawasan itu masuk wilayah Trienggadeng, silakan didenda bagi yang tidak khenduri blang, tapi sekarang belum jelas batasnya dan saya memastikan ini kawasan Leubu Mesjid,” tegas Ismalinur .

Diharapkan, pihak Pemerintah Kabupten Bireuen setelah Idul Adha, segera turun ke Makmur agar batas desa Leubu Mesjid dan Trienggadeng cepat selesai. Mengingat, sekarang lagi musim tanam di wilayah tersebut. (Faisal Ali)