KOPDA HARDIUS RUSMAN

Pengalaman Kopral Dua (Kopda) Hardius Rusman dalam hal penggunaan media sosial (medsos) secara cerdas, layak ditiru dan menginspirasi. Anggota Kodim 0111/Bireuen ini, mahir tujuh bahasa asing, hanya mengandalkan jejaring sosial.

Mengenakan seragam loreng TNI AD dan ditemani segelas kopi, Kopda Hardius Rusman duduk seorang diri di sebuah kafe dalam kawasan kota Bireuen, Provinsi Aceh, Selasa sore, 20 November 2018. Dia sedang asyik berbicara melalui telepon seluler.

Nada suaranya agak keras. Sesekali dia tertawa terbahak-bahak yang mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya. Tampaknya, Hardius sudah akrab dengan lawan bicaranya itu.

Begitu melihat saya datang dan mendekat, dia mempersilakan dan mengulurkan tangannya. Hardius lekas mengakhiri pembicaraannya dan memutuskan sambungan telepon. Tidak tahu dengan siapa dia berbicara tadi. Bahasanya juga sangat asing di telinga saya.

“Itu tadi teman saya dari negara Chile yang berbicara dalam bahasa Spanyol. Saya memang hampir tiap hari menyempatkan diri berbicara sekitar tiga puluh menit dengan teman-teman dari berbagai negara secara bergantian dalam tujuh bahasa asing yang saya kuasai,” ujar Hardius, memulai obrolan.

Hari itu, saya memang sengaja menemuinya untuk mewawancarainya secara khusus. Saya penasaran dengan kemahirannya menguasai tujuh bahasa asing. Padahal, dia hanya tamatan SMA. Sebagai anggota TNI AD, pangkatnya juga terendah untuk tingkatan kepangkatan Tamtama Kepala.

Hebatnya lagi, dia mempelajari bahasa-bahasa asing paling berpengaruh di jagat ini, bukan secara formal atau diajari guru bahasa. Herdius hanya belajar secara otodidak (belajar sendiri) melalui medsos.

Saya mengetahui kepiawaian Herdius menguasai banyak bahasa luar negeri itu, setelah melihat videonya sedang berbicara dengan beberapa bahasa asing yang diunggah di Facebook dan Youtube. Video tersebut sempat viral beberapa waktu lalu. Tak pelak, naluri jurnalistik saya pun terusik.

Saya berpikir, ini unik dan menarik untuk diberitakan. Mengandung nilai edukasi. Setidaknya, bisa memotivasi pembaca yang berminat mempelajari bahasa asing dengan gampang melalui medsos.

“Ya, saya hanya belajar melalui medsos. Seperti Google Translate, Facebook, WhatsApp, Messenger dan jejaring sosial lainnya. Berkat aplikasi medsos itu, sekarang saya sudah menguasai tujuh bahasa asing. Terdiri dari bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Spanyol, Portugis, Italia dan Belanda,” ungkap lelaki berusia 34 tahu ini.

Menurut Hardius, kalau mau belajar bahasa asing, memang bahasa Inggris-lah yang utama harus kita kuasai. Makanya, dia pertama kali mempelajari bahasa Inggris. Bahasa dunia itu memang bukan dipelajarinya melalui medsos. Maklum, saat itu belum zamannya dunia maya seperti sekarang.

Hardius mengisahkan, hobi belajar bahasa asing memang sudah tumbuh sejak dirinya duduk di bangku sekolah di kampung halamannya, Desa Padang Kapuk, Kecamatan Kota Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Saat SMP, bahasa Inggris merupakan pelajaran yang paling disukainya. Karenanya, dia juga berinisiatif belajar sendiri bahasa Inggris melalui buku-buku yang dibelikan bapaknya.

Hasilnya, ketika melanjutkan pendidikan di SMA, Hardius sudah menguasai bahasa Inggris. Bahkan saat itu, anak pasangan Siuludin (guru SD) dan Ulmatati (ibu rumah tangga) ini, sudah lancar berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan gurunya.

Setelah tamat SMA, pada 2004 Hardius masuk Tamtama TNI AD di Kodam II/Sriwijaya yang bermarkas di Palembang, Sumatera Selatan. Dia langsung ditugaskan ke Aceh yang ketika itu dalam kondisi konflik bersenjata antara RI-GAM. Namun, statusnya sebagai pasukan TNI organik setempat yang ditempatkan di Resimen Induk Infanteri Kodam Iskandar Muda (Rindam IM), Mata Ie, Aceh Besar.

Hanya beberapa bulan di sana, kemudian Hardius ditugaskan di Batalyon II3/Jaya Sakti yang bermarkas di Bireuen. Saat bertugas di batalyon tersebut, dia mempersunting gadis setempat, Laila Fajri yang asal Kecamatan Kuala, Kabupaten Bireuen. Sekarang, mereka telah dikarunia dua putra-putri, Muhammad Ridhol (8) dan Cut Syafira (4).

Nah, dalam masa tugas di batalyon itulah, Hardius kembali melanjutkan hobinya belajar bahasa asing. Dimulai pada 2007 hingga 2011, dia belajar bahasa Jerman dan Prancis. Sarana belajarnya melalui medsos. Dia berselancar di dunia maya pada salah satu warung internet (warnet) di Bireuen. Kala itu, memang belum ada HP android seperti sekarang, untuk mengakses medsos.

Selanjutnya, dari 2011 hingga 2018, dia belajar lagi bahasa Spanyol, Portugis, Italia dan Belanda. Kali ini, bahasa-bahasa tersebut semua dipelajarinya melalui sejumlah aplikasi medsos yang tersedia di smartphone.

Jadi, hingga kini Hardius sudah menguasai tujuh bahasa asing. Sekarang, pria yang sejak SD hingga SMA selalu menempati peringkat lima besar ini, sedang belajar lagi bahasa Arab. Kalau bahasa daerah, dia tidak begitu berminat mempelajarinya.

“Kalau bahasa Aceh, saya memang mengerti apa saja yang dibicarakan orang. Untuk berbicara, saya agak susah mengucapkannya. Saya pikir, cukup bahasa Indonesia saja yang saya kuasai, sebagai bahasa persatuan,” jelas pria yang rajin membaca ini.

Disangka Sudah Gila

Untuk memperlancar kemampuannya berbahasa asing, Hardius sering berkomunikasi dengan teman-temanya dari berbagai bangsa di dunia. Dia orangnya proaktif menyapa, untuk mengajak berkomunikasi.

Untuk mengasah kemampuannya menulis bahasa asing, dia kerap chatting dengan mereka melalui fasilitas yang tersedia di Facebook, WhatsApp dan aplikasi lainnya. Begitu juga untuk memperfasih bahasanya, agar sesuai dengan pembicara asli, Hardius tidak segan-segan mengajak mereka mengobrol melalui sambungan telepon atau video call.

Metode pembelajaran yang diterapkannya selama ini, sekitar 40 persen menulis dan 60 persen percakapan. Kalau belajar bahasa asing, kata dia, memang kita dituntut harus memperbanyak percakapan.

Menurut dia, cara paling baik dalam mempelajari sebuah bahasa, adalah berinteraksi langsung dengan pembicara asli. Semakin banyak berinteraksi, maka sense kita dalam berbahasa juga semakin baik.

Hardius menganjurkan, agar menambahkan orang-orang dari luar negeri sebagai teman di jejaring sosial. Kemudian, ajak mereka berkomunikasi melalui chatting atau video call.

“Cara ini terbukti ampuh. Tujuannya, agar kita terlatih dan terbiasa melafalkan kata-kata dalam bahasa asing secara fasih, sesuai pengucapan dari penutur aslinya,” ungkap pemilik akun Facebook Hardius Rusman ini yang pertemanannya sudah mencapai lima ribu warga negara asing. Mereka semua aktif berkomunikasi dengannya.

Makanya, Hardius sering memanfaatkan waktu luang, untuk saling menelepon atau video call dengan teman-teman luar negerinya yang dia kenal melalui medsos. Hal itu, kerap dilakukannya sambil santai di warung-warung kopi atau kafe.

Kalau sudah mulai bercas-cis-cus dengan bahasa asing, Herdius bisa lupa dengan sekelilingnya. Bukan untuk pamer, tapi memang rasa percaya dirinya tinggi dalam berbahasa asing. Vokalnya keras. Dia tidak peduli orang-orang seisi warung kopi, memperhatikan dan mentertawainya.

Bahkan, ada yang menyangka dia sudah gila. Para langganan warung kopi menduga, tentara itu hanya bercakap-cakap sendiri (tanpa lawan bicara). Didengar bahasanya, juga tak jelas dan tidak dimengerti artinya. Di antara mereka, ada yang ketakutan dan lekas beringsut dari sana.

“Ya, memang sering begitu. Malah, istri saya sendiri awalnya juga mengira saya sudah gila. Namun, setelah saya beri pengertian, dia bisa memakluminya. Sekarang dia sudah tidak masalah lagi dan telah terbiasa, kalau melihat kebiasaan saya begini,” jelas Hardius, blak-blakan apa adanya.

Hardius memang pernah sedikit tersinggung pada kelakuan seorang pelayan kantin di sebuah penginapan di Bireuen. Seperti biasa, sambil ngopi, dia mengobrol panjang lebar melalui HP dengan teman-teman dunia mayanya secara bergantian. Saat itu, dia tidak memakai seragam TNI. Hanya mengenakan pakaian biasa.

Setelah selesai dan mau pulang, Hardius memanggil pelayan tersebut untuk membayarnya. Eh, dia malah mengeluarkan kata-kata yang membuat tak sedap didengar.

“Abang ini minum kopi bayar lima ribu, ngomongnya banyak kali,” begitu diucapkan pelayan kantin tadi, seperti disampaikan Hardius kepada saya.

Tentara yang selama dua tahun ini sudah bertugas di Kodim 0111/Bireuen itu, hanya bisa mengelus dada dan menahan emosi atas kelancangan pelayan tersebut. Meski begitu, dia tidak mempersoalkan dan bisa memakluminya.

Keesokan harinya, Hardius sengaja datang lagi dan berhenti sebentar di depan kantin itu. Kali ini, dia mengenakan seragam TNI.

“Begitu pelayan itu mengetahui saya tentara, dia tampak gugup dan bersembunyi di belakang. Saya memang tidak apa-apakan dia. Hanya sekedar iseng-iseng, ingin melihat tingkahnya bagaimana kalau dia tahu saya ini seorang tentara,” kisahnya, sambil tertawa lebar.

Dalam berinteraksi dengan teman-temannya, Hardius mengaku, tidak mau mengungkapkan statusnya sebagai anggota TNI. Baik itu kepada teman medsos-nya, maupun saat berinteraksi langsung dengan orang asing.

Hardius punya alasan tersendiri untuk itu. Dia hanya  menghindari, agar mereka tidak segan bersahabat dengannya.

Pernah kejadian, ada seorang warga Jerman yang transit di Bireuen. Turis tersebut sedang menempuh perjalanan dengan bus dari Takengon, hendak menuju Banda Aceh. Begitu berpapasan di Terminal Bireuen, Hardius yang saat itu tidak berpakaian dinas, langsung menyapanya dengan bahasa Jerman.

Turis itu pun terkejut, begitu mendengar kemahiran Hardius berbahasa Jerman. Dia menanyakan, apakah Hardius pernah tinggal di Jerman, karena begitu fasih melafalkan kata-kata dalam bahasa negaranya itu.

Hardius menjelaskan, dirinya tidak pernah tinggal di Jerman dan juga belum pernah ke luar negeri. Dia pun manggut-manggut dan memuji kefasihan Hardius berbahasa Jerman.

“Tapi, begitu saya buka identitas diri sebagai seorang anggota TNI, dia tampak agak segan pada saya. Dia tidak lagi mempedulikan saya. Kemudian, orang Jerman itu langsung menumpang bus menuju Banda Aceh,” begitu pengalaman Herdius, sehingga membuat dia enggan mengungkapkan jadi dirinya sebagai anggota TNI.

Demikian juga kepada teman-temannya di medsos, Hardius tidak mengaku sebagai aparat keamanan tersebut. Foto-foto dirinya yang dipasang di sejumlah akun medsos, juga semua berpakaian sipil. Tujuannya, hanya untuk memudahkan berinteraksi dengan orang-orang asing dari berbagai kalangan dan beragam latar belakang profesi.

Hardius menyadari dan meyakini betul, kefasihannya berbahasa asing harus terus diasah. Salah satu caranya, harus berinteraksi dan berkomunikasi langsung dengan penutur aslinya. Karena itu, dia berusaha mencari dan bergaul dengan orang-orang bule yang sedang berwisata di Aceh. Tujuannya, untuk diajak ngobrol dan saling bertukar pikiran.

Biasanya kalau ada waktu dan sambil liburan, Hardius pergi ke Sabang dan pantai Lampu’uk, Aceh Besar yang sering dikunjungi turis asing. Dia tidak sungkan-sungkan menghampiri dan mengajak mereka ngobrol dengan ramah.

“Kita harus aktif dan tidak perlu sungkan atau malu-malu pada turis asing, asalkan kita santun. Memang perlu melatih vokal, agar lidah kita tidak kaku dan pengucapan kalimat dalam bahasa asing, sesuai dengan penutur aslinya. Ini coba lihat sendiri videonya, bagaimana saya mengobrol dengan mereka di Sabang dan Lampu’uk,” beber Hardius, sambil menyodorkan HP-nya pada saya. Dia memperlihatkan video saat dirinya berbicara dengan lancar bersama beberapa turis asing yang memakai bahasa Inggris, Prancis, Jerman dan Spanyol.

Meski keranjingan belajar bahasa asing, Hardius mengaku, tidak melalaikan tugasnya sebagai abdi negara, selaku anggota TNI AD. Sebab, dia belajar bahasa asing tersebut, tidak banyak menyita waktu. Belajarnya secara santai di mana dan kapan saja, melalui aplikasi medsos di HP pintarnya.

“Tugas dan kewajiban selaku anggota TNI AD, tetap saya utamakan. Saya juga mengerti ilmu fotografi, sinematografi dan penulisan berita. Saya bertugas di bagian penerangan yang mendokumentasikan foto, video dan menulis berita kegiatan-kegiatan di jajaran Kodim 0111/Bireuen, untuk diposting di website kami,” ungkap Hardius yang ternyata juga punya keahlian lain.

Begitu juga perhatiannya terhadap keluarga, menurut Hardius, tidak pernah dia kesampingkan. Mereka tidak terabaikan, hanya gara-gara dirinya bergelut dengan bahasa asing.

Kalau ada waktu luang, Hardius sering mengajak istri bersama anak-anaknya, makan-makan di luar dan juga berekreasi. Bahkan, mereka juga ikut dibawa saat dia ‘memburu’ orang bule di tempat-tempat wisata. Itu hanya untuk sekedar unjuk kebolehannya berkomunikasi langsung dengan orang asing.

Ingin Memajukan Pariwisata Aceh

Telah mahir tujuh bahasa asing yang besar dan berpengaruh di dunia, tidak membuah Hardius berpuas diri. Masalahnya, kemampuan itu tidak tahu harus dipergunakan di mana. Ibarat barang antik, meski langka dan harganya selangit, tapi hanya bisa disimpan atau dikoleksi di rumah.

Begitu juga yang dialami Hardius. Dia sekarang telah mengoleksi tujuh bahasa asing. Namun sayangnya, ilmu tersebut hanya bisa dipendam saja selama ini. Paling-paling cuma dipakai untuk berkomunikasi dengan teman-temannya di medsos. Tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk orang lain yang membutuhkannya.

Kalau untuk kalangan sendiri di jajaran Kodim 0111/Bireuen, tentu kelebihan itu tidak begitu dibutuhkan. Apalagi, kalau dikaitkan dengan pangkatnya masih sangat rendah. Masih di level kopral.

Melihat kenyataan tersebut, kalau memungkinkan, dia ingin diperbantukan di instansi pemerintah. Semisal, diperbantukan di dinas pariwisata yang membutuhkan kemampuannya berbahasa asing. Sedangkan statusnya, masih tetap sebagai anggota TNI AD.

Dengan begitu, kemampuan dia berbahasa asing, tidak sia-sia dan bisa menjadi nilai tambah baginya. Ilmu tersebut dapat disalurkannya dan juga bermanfaat bagi pemerintah.

Menurut hematnya, tugas babinsa itu tidak hanya turun ke sawah. Kalau ada kemampuan lain seperti dirinya, mungkin bisa juga diperbantukan pada sektor tertentu.

“Tujuannya, sama juga untuk membantu masyarakat dan juga pemerintah. Apalagi, saya sudah mengabdi sebagai anggota TNI selama 14 tahun,” pinta pria yang suka bacaan bidang ekonomi, budaya dan sosial ini.

Hardius menyampaikan, dirinya memang sangat berkeinginan bisa ikut mengambil peran dalam memajukan sektor pariwisata Aceh. Dalam berkomunikasi dengan teman-temannya dari luar negeri selama ini, dia selalu mempromosikan sejumlah tempat wisata yang menarik di Aceh.

Umumnya, mereka sangat tertarik dan berkeinginan mengunjungi sejumlah tempat wisata di Aceh. Apalagi, keindahan alam Serambi Mekkah ini, dengan penduduk dan latar belakang budayanya, punya kekhasan tersendiri.

Teman-teman Hardius mudah memahaminya, karena dia menjelaskan dengan bahasa mereka masing-masing. Saat diterangkan tentang pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, mereka juga bisa memakluminya. Malah, itu menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka, karena tidak ada di tempat lain di Indonesia.

“Jadi, kalau misalnya Dinas Pariwisata Aceh atau pihak mana saja yang tertarik dan berkeinginan mengajak bergabung, saya siap membantunya. Tentunya, bagi yang membutuhkan, harus memohon langsung atau meminta izin dulu pada atasan saya, untuk diperbantukan di tempatnya,” harap Hardius.

Ada satu lagi keinginannya yang juga belum tercapai hingga kini. Hardius ingin melanjutkan pendidikan militer yang sebelumnya sudah berkali-kali gagal terlaksana. Selain itu, dia juga ingin kuliah di jurusan Hubungan Internasional. Namun, hasrat itu harus dipendam dulu dalam-dalam.

“Kendalanya, ya belum ada biayanya. Bayangkan, berapalah gaji saya yang masih berpangkat Kopral ini. Untuk kebutuhan keluarga saja, harus benar-benar kami hemat. Belum lagi dipotong pinjaman di bank,” ungkap Hardius, pasrah.

Sejenak hening dan kami terdiam. Saya terenyuh. Tiba-tiba Hardius melirik jam tangannya. Sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Mendung pun sudah mulai bergelayut di langit.

“Maaf, saya harus permisi, mau balik ke kantor. Saya piket hari ini. Sebentar lagi ada tugas menurunkan bendera,” Hardius berpamitan dan bergegas menuju tempat parkir.

Dia langsung menunggang sepeda motor bututnya dan tancap gas menuju Makodim 0111/Bireuen di kawasan Blang Bladeh, Kecamatan Jeumpa. Agak lama juga saya terpaku menatapnya dari kejauhan.

Saya benar-benar takjub. Hari ini, saya mendapatkan sebuah pengalaman berharga dari seorang tentara yang begitu bersahaja dan pintar. Dia bisa memanfaatkan medsos secara cerdas dan berguna bagi diri sendiri dan juga orang lain.

Ternyata, jejaring sosial yang belakangan ini sering disalahgunakan untuk hal-hal negatif, dapat juga dimanfaatkan sebagai sarana untuk belajar bahasa asing. Kopda Hardius Rusman sudah membuktikannya. Adakah yang berminat mengikuti jejak langkahnya? ** (Suryadi)