Muhammad Arif dari Koalisi DemRes. (foto: dok pribadi)

KABAR BIREUEN – Dugaan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di salah satu Kecamatan di Bireuen, mendapat kecaman dari Koalisi Muda Bireuen Demokrasi Resiliensi (DemRes).

Koalisi DemRes mengutuk dugaan pelanggaran Pemilu yang dilakukan PPK di salah satu Kecamatan di Bireuen, untuk mengarahkan kandidat yang bertarung di pesta demokrasi yang akan digelar 14 Februari 2024 mendatang.

Hal itu dikatakan Muhammad Arif dari Koalisi DemRes, kepada wartawan, Sabtu (10/2/2024). Dia menegaskan, penyelenggara adalah aktor penting dalam merawat demokrasi. Sehingga, mereka dituntut independen, berintegritas, dan netral.

Karena itu, dia meminta ketegasan dari Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), dalam menangani dugaan tindak pidana Pemilu tersebut

ā€œTugas mereka jangan sebatas prosedural, tapi juga subtantif,ā€ ujar pria yang akrab disapa Abiet itu.

Disebutkan Abiet, penegakan hukum harus dilakukan secara cepat, sederhana dan tidak memihak.

“Jangan rusak kepercayaan publik kepada penegak hukum di Kabupaten Bireuen,” tegasnya.

Abiet mengungkapkan, setelah viralnya informasi di media, koalisi muda ini mengumpulkan informasi detail, terkait kronologi yang dilakukan oleh beberapa oknum di Kabupaten Bireuen.

Informasi yang diperoleh pihaknya, ada pertemuan yang dilakukan di beberapa Kecamatan dengan mengumpulkan semua ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS).

Pada saat kegiatan berlangsung, peserta diminta menonaktifkan handphone. Kemudian, ada arahan dan semua diinstruksikan untuk pemenangan salah satu Capres.

ā€œKalian wajib Shalat Subuh dua rakaat, jika terjadi sesuatu maka keselamatan kalian akan dijamin oleh lembaga kami,ā€ ulang warga yang tidak ingin disebut namanya.

Abiet menyebutkan, lebih miris ketika oknum ā€œpenjahatā€ mempolitisir agama dengan dalih kemenangan ummat.

Sedangkan di level gampong, salah satu warga juga membenarkan hal tersebut. Oknum Ketua PPS di salah satu gampong, diduga mengadakan pertemuan dengan menghadirkan anggota PPS, KPPS, PPG dan PTPS dengan tujuan yang sama.

Ada anggota yang menjawab, ā€œKalau kami melakukannya, rugi dong kami disumpah untuk menjaga integritasā€. Tidak ada jawaban pasti, tapi hanya menegaskan bahwa semua punya kepentingan.

Mereka yang hadir minimal diwajibkan per TPS ada 10 suara, dan selanjutnya disesuaikan dengan kondisi lapangan.

Selanjutnya, dugaan pelanggaran yang direncanakan, yaitu dengan jual-beli surat suara yang tidak memilih (Golput).

“Celah yang bisa digunakan dengan mencoblos sisa surat suara, pada saat istirahat pukul 12.00 WIB. Di sisi lain, ada oknum yang dipersiapkan untuk mengelabui saksi-saksi dari non koalisi,” jelasnya.

Pada saat di TPS, pemilih akan mendapatkan lima surat suara, yaitu Calon Presiden dan Wakil Presiden (CPWP), DPD-RI, DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPR Kab/Kota.

Khusus untuk CPWP, tidak dijual karena memang sudah ditentukan. Untuk DPD-RI bisa dipilih acak. Sedangkan DPR-RI, DPRA dan DPRK, dijual dengan harga yang variatif. Rencana mereka akan dilakukan dengan beberapa versi.

Versi pertama, per TPS mendapatkan tawaran Rp1 juta, jika berhasil melakukan kecurangan agar bisa mencoblos Caleg yang sesuai dengan kesepakatan.

Versi kedua, per TPS mendapatkan RP 1 juta per masing-masing dari DPR-RI, DPRA dan DPRK. Jadi bisa dapat Rp3 juta, dan disesuaikan dengan jumlah TPS. Banyak lagi versi lainnya, disesuaikan dengan inovasi oknum penyelenggaranya.

Koalisi Muda Bireuen mengecam dugaan praktek tersebut, karena demokrasi kotor yang dipertontonkan ke publik sangat tidak beretika.

ā€œMasyarakat teriak anti politik uang dan mendorong Pemilu yang bersih dan inklusi, tapi licik sekali permainan mereka. Apalagi jika disebut ada oknum lembaga penegak hukum yang ikut terlibat, dengan dalih arahan dari atasan instansi mereka,ā€ ucapnya geram.

Dia mempertanyakan, jika kondisi politik licik ini diatur sedemikian rupa dari level nasional sampai ke desa, pemimpin seperti apa yang akan diharapkan ke depan?

ā€œIndonesia negara demokrasi, suara ada di tangan rakyat, bukan penguasa,ā€ tegasnya. (H. AR Djuli)