Calon Anggota DPD RI Dapil Aceh, Darwati A. Gani silaturahmi dengan wartawan liputan Bireuen, di salah satu cafe di Bireuen, Rabu (7/2/2024). (Foto: Hermanto/Kabar Bireuen)

KABAR BIREUEN – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh tergolong tinggi. Kekerasan terhadap perempuan, didominasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sementara terhadap anak, berupa pelecehan seksual dan pemerkosaan.

Ini sudah lama menjadi keresahan dan konsen Darwati A. Gani sehingga sebagai salah satu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2019-2024 gencar memperjuangkan penyelesaian kekerasan seksual dan penguatan Qanun Jinayah.

Namun, sayangnya perjuangan Darwati bersama Anggota DPRA lainnya masih mandek terkendala di pusat. Pun begitu, dia tetap akan berupaya memperjuangkannya dan fokus pada kekerasan terhadap perempuan dan anak jika nanti terpilih sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD) RI Dapil Aceh.

Hal tersebut disampaikannya dalam acara silaturahmi dan temu ramah dengan sejumlah wartawan liputan Bireuen, Rabu (7/2/2024) di salah satu cafe kawasan Geulanggang Baro, Kecamatan Kota Juang, Bireuen.

Dikatakannya, sejak 2022 sebenanrnya usulan revisi ataupun penguatan pembahasan Qanun Jinayah yang sudah masuk prolega dua pasal dalam Qanun Jinayah, yaitu Pasal 47 dan Pasal 50 dihapuskan. Apabila ada kasus kekerasan seksual dapat merujuk ke UU Perlindungan Anak.

“Kedua pasal tersebut  diupayakan untuk dihapuskan karena dinilai tidak pro kepada korban dan juga memberikan celah bagi pelaku untuk bebas dari tuntutan hukum,” sebut politikus Partai Nanggroe Aceh (PNA) itu.

Disebutkan  mantan First  Lady Aceh itu, pelaku kekerasan seksual terhadap anak itu justru orang-orang terdekat dengan lingkungan mereka, bahkan ada anggota keluarga mereka yang menjadi pelaku.

“Bisa dibayangkan jika pelaku tak dihukum berat dan bebas dari tuntutan hukum. Kemudian, pelaku berada kembali di dekat korban. Bisa saja mereka mengulangi perbuatannya. Selain itu, bisa membuat si anak makin trauma,” ungkap Darwati.

Dia juga menyoroti anak yang mengalami kekerasan seksual selama ini hampir tak pernah mendapatkan pendampingan psikolog ataupun psikiater. Padahal, anak-anak tersebut banyak yang mengalami trauma. (Hermanto)