![WhatsApp Image 2025-02-10 at 23.21.52](https://kabarbireuen.com/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-10-at-23.21.52.jpeg)
KABAR BIREUEN Bireuen — Yayasan Abu Tanoh Mirah melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum Rumah Aspirasi & Advokasi Rakyat (LBH-RADAR) menuntut pihak-pihak yang diduga menyerobot lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik yayasan tersebut, untuk segera mengembalikannya kepada pemilik sebenarnya.
Bagi penggarap lahan sawit yang terletak di Gampong Blang Mane, Kecamatan Peusangan Selatan, Kabupaten Bireuen, itu diberi waktu waktu selama 14 hari sejak berita ini dipublikasikan, untuk menemui pihak yayasan.
Zulfikar Muhammad, SH., MH, dari LBH-RADAR menyatakan, masyarakat yang telah terlanjur menggarap lahan dapat datang dan bermusyawarah dengan pihak yayasan atau dayah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Namun, bagi pihak perusahaan yang diduga telah menyerobot lahan seluas 183 hektar tersebut, tidak ada toleransinya.
“Kami akan mengambil langkah-langkah hukum terhadap perusahaan. Siapkan saja dokumen hukumnya,” tegas Zulfikar kepada wartawan di kantor LBH-RADAR di Gampong Cot Buket, Kecamatan Peusangan, Senin (10/2/2025).
Menurut Zulfikar, kasus dugaan penyerobotan tanah ini telah dilaporkan ke Polres Bireuen pada 24 Juli 2024 dan saat ini masih dalam tahap penggalian informasi oleh pihak kepolisian. Ia menjelaskan bahwa lahan tersebut memiliki sertifikat HGU yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 1997 dan berlaku hingga 2027.
“Saat sertifikat HGU dikeluarkan, tidak ada tanah lain yang memiliki sertifikat HGU di lokasi tersebut selain milik Yayasan Abu Tanoh Mirah. Kami juga telah mengecek ke ATR/BPN Bireuen dan hasilnya sesuai dengan sertifikat yang kami miliki,” jelasnya.
Namun, berdasarkan foto parsial satelit dan penelusuran langsung di lapangan, lahan tersebut kini dikuasai oleh pihak lain, termasuk perusahaan Almadani dan PT Rambong Meuagam.
Dugaan Penjualan Ilegal
![](https://kabarbireuen.com/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-10-at-23.22.45.jpeg)
Dalam penelusuran LBH-RADAR, ditemukan bahwa PT Rambong Meuagam mengklaim memiliki sertifikat HGU tahun 2016. Namun, pihak perusahaan tidak bersedia memperlihatkan sertifikat tersebut. Mereka juga tidak mau menanyakan langsung secara bersama-sama ke Kantor ATR/BPN Bireuen.
Zulfikar menyebutkan, situasi ini sangat merugikan yayasan yang harus membayar pajak setiap tahun atas HGU tersebut. Jika status lahan tidak jelas, akan ada kendala administratif yang dapat menghambat operasional yayasan.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, ada enam pihak atau kelompok yang menduduki lahan HGU milik yayasan itu. Lebih parah lagi, beberapa bagian tanah tersebut ada yang telah diperjualbelikan secara ilegal.
“Tanah HGU adalah milik pemerintah dan tidak boleh diperjualbelikan. Ini pelanggaran serius,” tegasnya.
Menurut Zulfikar, Dayah Abu Tanoh Mirah yang beralamat di Gampong Tanoh Mirah, Keacamatan Peusangan, merupakan salah satu dayah tertua di Aceh dan memiliki sejarah panjang dalam dunia pendidikan Islam, Di sana ditampung anak-anak yatim dari berbagai daerah di Aceh. Penyerobotan tanah ini, katanya, tidak hanya merugikan secara hukum, tetapi juga mengancam keberlangsungan operasional dayah.
“Kami memilih jalur hukum untuk menghindari konflik di lapangan. Kami menduga ada mafia tanah bermain di lahan tersebut. Karena itu, kami berharap Polres Bireuen dapat memproses kasus ini sesuai aturan yang berlaku tanpa adanya intervensi atau beking-membekingi pihak mana pun,” pinta Zulfikar.
Da menegaskan, pihaknya tidak akan berhenti memperjuangkan hak Yayasan Abu Tanoh Mirah tersebut. Pihaknya mendesak pemerintah dan penegak hukum, untuk segera bertindak sesuai aturan yang berlaku. (Suryadi)