KABAR BIREUEN– Direktur The Aceh Institute, Muazzibah Yacob, BSc, MPA menyerahkan Working Paper Series “Pemilu, Otonomi Khusus, dan Pembangunan Perdamaian: Tinjauan terhadap Persiapan Penyelenggaraan Pemilu 2024 di Aceh kepada Ketua DPRA, Saiful Bahri, Senin (1/11/2022).
Sebelumnya, sebut Muazzinah, pada Agustus dan September lalu Aceh Institute (AI) telah melaksanakan beberapa MSM (Multistakeholder Meeting. Pertama pada 23 Agustus 2022 dengan tema The Current Legal Provinsions that Effect the Implementation of Election in Aceh.
“Kedua pada 31 Agustus 2022 dengan tema Challenges in the Replacement anda Selection Prosesses of the 2024 Election Board,” katanya.
Kemudian yang ketiga pada 8 September 2022 dengan tema Penunjukkan Penjabat (Pj) Kepala Daerah dan Dukungan untuk Kesuksesan Penyelenggaraan Pemilu Damai di Aceh.
Dalam kajian ini, setelah mendapatkan data dari berbagai stakeholder maka dianalisis yang kemudian diserahkan kepada DPRA, KIP Aceh dan Panwaslih Provinsi Aceh sebagai masukan dalam penyelenggaran pemilu 2024 di Aceh. Kepada KIP Aceh dan Panwaslih Provinsi Aceh sudah diserahkan Jumat 28 Oktober 2022.
“Hari ini diserahkan pada Ketua DPR Aceh, beliau menyambut baik kajian ini dan berterima kasih pada The Aceh Institute,” sebut Muazzinah.
Dikatakan Muazzinah, ada beberapa catatan yang muncul dari beberapa diskusi dan penggalian yang dilakukan dalam 3 kali MSM yang dilakukan bersama dengan mitra dan pemangku kepentingan di Aceh oleh The Aceh Institute.
Catatan 1, Kuota Keterlibatan Perempuan dengan rekomendasi,
1. Perlu adanya peraturan yang konsisten, lebih tegas, dan berpihak kepada peningkatan partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam partai politik;
2. Partai politik harus memiliki desain pelibatan perempuan yang terpola, dan tidak hanya sekedar pelibatan yang karikatif atau “mencomot di tengah jalan” hanya untuk kepentingan pencalegan saja;
3. Lembaga-lembaga sipil harus selalu pro aktif mengawal dan mendorong isu keterlibatan perempuan karena partai cenderung abai, kurang peka dan bersikap pragmatis dalam soal pelibatan perempuan ini. Sosialisasi oleh lintas stakeholder, Kesbangpol, dan CSO perlu diintensifkan hingga ke daerah-daerah.
Catatan 2: Partisipasi Penyandang Disabilitas dengan rekomendasi
1. Perlu adanya peraturan yang lebih tegas, dan berpihak kepada partisipasi dan keterlibatan penyandang disabilitas dalam partisipasi politik, tidak hanya sebatas penggunaan hak suara, tetapi juga dalam soal keterlibatan sebagai penyelenggara dan peserta pemilu;
2. Perlu adanya affirmative action dalam bentuk pemberian kuota keterlibatan penyandang disabilitas sebagai penyelenggara pemilu;
3. Perlu adanya pembekalan yang memadai untuk seluruh penyelenggara pemilu agar memiliki perspektif disabilitas;
4. Perlu adanya sosialisasi pemilu yang lebih memadai yang ditujukan kepada penyandang disabilitas yang ditujukan salah satunya untuk meningkatkan angka partisipasi dalam pemilu dan pemilihan, khususnya dalam menunaikan apa hak-hak sipil-politik para penyandang disabilitas.
Catatan 3: Mekanisme Rekrutmen Anggota KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kotadengan rekomendasi
1. Proses rekrutmen Komisioner KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota tidak dikuasakan secara mutlak pada legislatif(legislative-heavy), namun dibagikan juga kepada lembaga atau individual yang dianggap layak dan mampu secara lebih proporsional demi mendapatkan ponsel yang berintegritas dan para komisioner yang tentunya juga berintegritas;
2. Memperhatikan kekhususan Aceh seperti yang diatur dalam UU 11 tahun 2006, mekanisme rekrutmen KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota tetap dilakukan oleh DPRA/Ksesuai dengan kehendak Pasal 56 yang didahului oleh pembentukan Tim Independen atau Panitia Seleksi (Pansel).
Hanya saja Pansel tersebut direkrut tidak melalui mekanisme seleksi DPRA melainkan dengan permohonan kesediaan (penunjukan) atau pengusulan oleh masyarakat secara terbuka.
Para Pansel ini terdiri dari tokoh masyarakat yang telah teruji integritasnya dan memahami dengan baik proses Pemilu/Pemilihan;
3. Pansel dalam masa bertugas, harus non-aktif tidak aktif dari lembaga-lembaga afiliatif-nya untuk memastikan integritas dirinya agar anggota KIP atau Panwaslih yang terpilih juga sosok yang berintegritas dan non-afiliatif.
Terdapat kasus-kasus di lingkungan KIP Aceh dimana setelah dilantik baru diketahui bahwa komisioner yang bersangkutan adalah sosok yang partisan;
4. Pansel melaksanakan setiap tahapan seleksi mencakup seleksi administrasi, tes tulis, tes psikologi, dan wawancara hingga menghasilkan 21 nama yang akan diserahkan kepada DPRA untuk dilakukan fit and proper test;
5. Dalam melaksanakan setiap tahapan seleksi Pansel dibantu oleh pihak ketiga, seperti kampus, lembaga psikologi atau lembaga-lembaga pemerintahan lainnya yang relevan,berintegritas, terbuka, dan objektif;
6. Fit and proper test dilakukan oleh DPRA secara terbuka di tempat terbuka yangdapat diakses oleh publik sehingga publik bisa menilai kualitas dari setiap calon, termasuk lewat media sosial.
Catatan 4: Unifikasi Lembaga Pengawasan Pemilu dan Pemilihan dengan rekomendasi
1. Untuk kepentingan unifikasi lembaga pengawasan maka Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan di Aceh harus segera direvisi;
2. Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota tetap direkrut oleh DPRA/DPRK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (3) UUPA dengan beberapa usulan penyempurnaan;
3. Mekanisme rekrutmennya mengikuti model rekrutmen KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota dan dilakukan oleh Tim Independen (Pansel) dengan beberapa usulan inovasi sebagai berikut:
3.1. Pansel direkrut tidak melalui mekanisme seleksi DPRA melainkan dengan permohonan kesediaan (penunjukan) dan atau pengusulan oleh masyarakat;
3.2. Para anggota Pansel ini terdiri dari tokoh masyarakat yang telah teruji integritasnya dan memahami proses Pemilu/Pemilihan dengan baik;
3.3. Pansel melaksanakan setiap tahapan seleksi mencakup seleksi administrasi, tes tulis, tes psikologi, dan wawancara hingga menghasilkan 21 nama yang akan diserahkan kepada DPRA/K untuk dilakukan fit and proper test;
3.4. Dalam melaksanakan setiap tahapan seleksi Pansel dibantu oleh pihak ketiga, seperti kampus, lembaga psikologi atau lembaga-lembaga pemerintahan lainnya yang relevan, berintegritas, terbuka, dan objektif;
3.5. Fit and proper test dilakukan oleh DPRA secara terbuka di tempat terbuka yang dapat diakses oleh publik sehingga publik bisa menilai kualitas dari setiap calon, termasuk lewat media sosial.
Catatan 5: Penggantian Anggota KIP dan Bawaslu di tengah tahapan dengan rekomendasi
1. Masa jabatan keanggotaan KIP dan Panwaslih tetaplah 5 (lima) tahun dan tidak ada dasar hukum yang bisa menjadi dasar argumentasi untuk memperpanjang masa jabatan itu;
2. Rekrutmen anggota KIP dan Bawaslu sudah dapat dimulai pada akhir tahun 2022 atau awal 2023;
3. Rekrutmen anggota Panwaslih Aceh, untuk pengawasan Pilkada 2024, sudah bisa dimulai pada awal 2024 dengan merujuk pada Pasal 60 ayat (1) dan ayat (3) UU 11/2005 tentang Pemerintahan Aceh.
Catatan-6: Pelantikan Anggota KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota dengan rekomendasi
1. Pelantikan anggota KIP Aceh atau Kabupaten/Kota apabila Gubernur atau Bupati/Walikota tidak bersedia, maka perlu disediakan norma dapat dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atau Gubernur. Hal yang samamutatis mutandis juga berlaku bagi Panwaslih Aceh dan Kabupaten/Kota;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak mengatur tentang siapa yang akan melantik atau meresmikan anggota Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota, untuk itu diperlukan norma dengan merubah UUPA atau melalui Peraturan Bawaslu RI yang menyatakan bahwa anggota Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota dilantik oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Catatan 7: Peran PJ dalam Mensukseskan Pemilu dan Pilkada 2004 dengan rekomendasi
1. Pj kepala daerah perlu menegaskan sikap ke publik tentang independensi yang dijalankannya dan menegaskan sikap tersebut kepada aparatur di bawahnya secara hirarkhis;
2. Pj kepala daerah seharusnya mengeluarkan aturan yang memperkuat peraturan yang sudah ada terkait netralitas ASN, dan aparatur pemerintahan;
3. Koordinasi kerja lintas stakeholder, terutama dengan penyelenggara dan pengawas pemilu perlu diintensifkan, termasuk soal dukungan anggaran dan operasional kegiatan;
4. Lintas stakeholder non-pemerintahan, seperti akademisi, ulama, aktivis CSO, tokoh perempuan dan tokoh masyarakat perlu mengawasi segala kebijakan pemerintah baik di level provinsi, kabupaten/kota, hingga ke kecamatan dan gampong (desa). (REL)