H. Ruslan Daud (HRD) saat Rapat Panitia Kerja (Panja) Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, di Hotel Pullman Jakarta Central Park, Senin (23/9/2024). (Foto: Dok. Pribadi)

KABAR BIREUEN, Jakarta – Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), H Ruslan M Daud, SE MAP, ikut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Pembahasan RUU Pelayaran tersebut berlangsung dalam rapat Panitia kerja (Panja) dengan Eselon I Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, di Hotel Pullman Jakarta Central Park, Senin (23/9/2024).

Dalam kesempatan tersebut H Ruslan Daud atau yang akrab disapa HRD, menyampaikan, penyelenggaraan pelayaran sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, selama ini masih terkendala dengan biaya logistik yang tinggi dan tidak efisien.

Begitu juga pelayaran rakyat yang masih perlu penguatan dan pemberdayaan, pengelolaan manajemen dan tata kepelabuhan yang kurang efektif. Belum jelasnya peran kelembagaan, sehingga menimbulkan tumpang tindih dalam penyelenggaraan keamanan dan keselamatan pelayaran, serta penegakan hukum di laut.

Dikatakan HRD, beberapa ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan. Demikian juga permasalahan dan kebutuhan hukum di masyarakat dalam penyelenggaraan pelayaraan saat ini, sehingga perlu diubah.

“Bahwa pelayaran sebagai bagian dari sistem transportasi nasional masih memerlukan penguatan, pemberdayaan, dan pengelolaan yang efektif dan efisien dalam rangka menjamin penyelengaraan keselamatan dan keamanan pelayaran,” harap Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) V Fraksi PKB ini.

Menurut HRD, ada lima tantangan utama dalam menurunkan biaya logistik. Pertama, regulasi yang masih kurang kondusif. Misalnya, lead time (waktu tunggu) yang cukup panjang untuk perizinan di pelabuhan.

Kedua, belum optimalnya kinerja pelabuhan. Contohnya, turn around time (waktu kedatangan kapal berlabuh jangkar di dermaga serta waktu keberangkatan kapal setelah melakukan kegiatan bongkar muat barang) yang lama dan infrastruktur pelabuhan yang kurang memadai.

Ketiga, efisiensi value chain darat yang rendah. Misalnya, akses yang kurang memadai ke layanan truk dan koniktivitas jalan darat yang rendah,

Keempat, efisiensi value chain laut yang rendah. Seperti jalur pelayaran yang terfragmentasi dengan banyaknya penggunaan kapal kecil.

Kelima, tidak seimbangnya permintaan dan pasokan. Seperti permintaan terkonsentrasi (terpusatkan) di Pulau Jawa yang mengarah kepada kekosongan kontainer.

“Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah menerapkan program pengangkutan pelayaran publik di laut atau tol laut yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja transportasi laut melalui perbaikan jaringan pelayaran domestik dan internasional, penurunan dwelling time (waktu yang dibutuhkan sejak barang turun dari kapal atau barang ditimbun sampai barang keluar dari pelabuhan) sebagai penghambat utama kinerja pelabuhan nasional , serta peningkatan peran transportasi laut Indonesia,” jelas HRD. (Red)