KABAR BIREUEN – Selaku salah seorang tokoh masyarakat Kabupaten Bireuen, Drs. H.  Hamdani Raden, mengaku, dirinya merasa malu dengan keberadaan selebaran imbauan tentang standarisasi warung kopi/cafe dan restoran sesuai syariat Islam yang diterbitkan Bupati Bireuen, H. Saifannur, S.Sos, baru-baru ini.

Alasannya, dengan adanya standarisasi tersebut, mengesankan seakan-akan selama ini di warung-warung kopi atau cafe dan restoran dalam Kabupaten Bireuen, sudah sangat parah pelanggaran syariat Islam. Sehingga, perlu diterbitkan selebaran standarisasi untuk mengaturnya yang sesuai dengan syariat Islam. Padahal, banyak hal lain yang lebih urgent dan membutuhkan penanganannya.

Hal itu dikemukakan Hamdani Raden yang khusus menelpon Kabar Bireuen untuk menyampaikan tanggapannya terkait standarisasi kontroversial tersebut, Kamis (6/9/2018) malam.

Pue kadipeulaku di Bireuen? Terus terang, saya merasa malu. Belakangan ini kalau duduk-duduk di warung kopi di Banda Aceh, kami yang dari Bireuen sering diledek sama rekan-rekan dari daerah lain. Mereka menanyakan, apakah sudah sangat parah pelanggaran syariat Islam di Bireuen,” ungkap Hamdani Raden yang sudah lama menetap di Banda Aceh.

Padahal, kata mantan penjabat (Pj) Bupati Bireuen itu, sepengetahuannya yang sering pulang ke Bireuen dan juga kerap ngopi bersama warga setempat di warung-warung kopi, tidak demikian adanya. Dalam amatannya, aktivitas di warung-warung kopi atau cafe di Bireuen, masih dalam batas-batas kewajaran. Sama halnya seperti di tempat lain di Aceh yang juga berlaku syariat Islam.

Hamdani Raden menegaskan, pernyataannya ini jangan disalahtafsirkan, apalagi dipertentangkan dengan syariat Islam yang berlaku di Aceh. Dia mengaku, setuju-setuju saja dan mendukung sepenuhnya terhadap imbauan standarisasi warung kopi/cafe dan restoran sesuai syariat Islam. Namun, di situ ada poin-poin yang tidak perlu diatur sedemikian rupa dan terkesan dipaksakan.

Misalnya, di poin terakhir nomor urut 14 yang menyebutkan, pelayanan cafe dan restoran dibuka pukul 06.00 WIB dan ditutup pukul 24.00 WIB. Jadi, kata dia, kalau ditutup lewat pukul tersebut dan juga warung-warung yang buka 24 jam, apakah itu sudah melanggar syariat Islam?

“Ini bisa mematikan perekonomian masyarakat. Hal tersebut juga sangat ironis. Sebab,  tidak sejalan dan bertentangan dengan visi misi Bupati Saifannur yang ingin menjadikan Bireuen sebagai kota perdagangan, persinggahan dan pusat kuliner. Bagaimana ini bisa diwujudkan, kalau aktivitas di warung-warung dibatasi hanya boleh dibuka hingga pukul 24.00 WIB,” tanya Hamdani Raden yang gagal paham dengan imbauan standarisasi yang menghebohkan tersebut. (Suryadi)