
KABAR BIREUEN, Bireuen – Sidang perkara dugaan tindak pidana penghinaan di Pengadilan Negeri (PN) Bireuen yang melibatkan Sekretaris Desa Keude Alue Rheng, Kecamatan Peudada, selaku terdakwa dan korban seorang Pendamping Desa dari kecamatan setempat, berakhir dengan prosesi adat peusijuek atau tepung tawar. Peusijuek ini menjadi simbol perdamaian antara kedua belah pihak yang sebelumnya terlibat dalam perselisihan.
Sidang tersebut berlangsung pada Kamis, 27 Februari 2025, di ruang sidang utama PN Bireuen, dengan majelis hakim terdiri dari Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H., Fuady Primaharsa, S.H., M.H., dan M. Muchsin Alfahrasi Nur.
Peusijuek yang dipimpin oleh seorang Teungku (ulama), dihadiri tokoh masyarakat setempat. Prosesi ini menandai rekonsiliasi antara terdakwa dan korban yang sebelumnya bersitegang akibat dugaan penghinaan.
Dalam momen haru tersebut, terdakwa secara tulus meminta maaf dan berjanji akan melindungi korban seperti orang tuanya sendiri. Sebaliknya, korban berjanji akan membimbing terdakwa layaknya anaknya sendiri. Perdamaian ini diharapkan dapat mengakhiri permusuhan dan memulihkan hubungan sosial yang sempat terganggu.
Jalan Panjang Menuju Perdamaian
Sebelumnya, persidangan berlangsung cukup alot dengan perdebatan mengenai syarat perdamaian. Korban sempat meminta agar terdakwa memuat permintaan maaf dan pengakuan bersalah di media nasional. Namun, majelis hakim menilai kasus ini berskala lokal dan menyarankan agar permintaan maaf tersebut dipublikasikan saja di media lokal.
Kemudian, korban mengajukan syarat lain, yakni seekor lembu, sesuai dengan pernyataan terdakwa di kantor polisi. Namun, terdakwa mengklarifikasi bahwa ucapannya saat itu hanyalah sesumbar.

Sebagai gantinya, ia menawarkan seekor kambing atau uang sebesar Rp2 juta. Tawaran ini sempat ditolak korban yang akhirnya mengusulkan agar uang tersebut disumbangkan ke masjid dan permintaan maaf diumumkan melalui Facebook, sebagai bentuk pemulihan nama baik.
Majelis Hakim juga mengusulkan agar terdakwa mengumumkan permintaan maafnya di hadapan jemaah salat, memajang surat permintaan maaf di kantor keuchik dan kantor camat, serta memberi makan anak yatim sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Setelah mempertimbangkan usulan ini, terdakwa menyatakan kesediaannya dan menunaikan semua kesepakatan yang telah disetujui bersama.
Keadilan Restoratif dalam Putusan Hakim
Dengan tercapainya perdamaian ini, majelis hakim menegaskan, pendekatan keadilan restoratif menjadi faktor utama dalam menjatuhkan putusan. Hakim menekankan, penyelesaian kasus ini sejalan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang mengedepankan pemulihan hubungan sosial dibandingkan hukuman semata.
Prosesi peusijuek tersebut di akhir sidang, menandai titik balik dalam hubungan terdakwa dan korban. Selain menutup konflik, perdamaian ini juga diharapkan dapat memperkuat kebersamaan dalam masyarakat, khususnya di Desa Keude Alue Rheng, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen.
Dengan berakhirnya persidangan ini secara damai, diharapkan prinsip keadilan restoratif semakin diterapkan dalam penyelesaian perkara di masa mendatang. (Red)