Rizki Syamsul Fauzi

Oleh: Rizki Syamsul Fauzi

Ketua Umum Komunitas Peduli Pendidikan Kota Tasikmalaya

DALAM kajian ssiologi pendidikan, pendidikan dipandang salah satu realitas sosial yang memiliki kompleksitas dan perlu dipahami bagaimana hubungan antara realitas sosial (dalam hal ini kualitas masyarakat), dengan kondisi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Hubungan antara kualitas masyarakat dengan kondisi pendidikan sangat berkaitan erat, sebab keduanya merupakan lingkaran yang saling mempengaruhi dan berada pada dua posisi. Bisa pada posisi sebab atau akibat.

Pendidikan dalam sudut pandang sosiologi tidak hanya proses transmisi ilmu pengetahuan saja. Namun juga bagaimana institusi pendidikan mampu menjadi agen sosial yang memberikan penanaman nilai dan norma yang baik dalam masyarakat. (Arifin, 2016).

Sebagai contoh misalnya, penyimpangan sosial yang terjadi karena kegagalan fungsi sekolah adalah kasus kekerasan yang dihimpun oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dengan berbagai jenis kekerasan misalnya (bullying dan kekerasan seksual) dengan angka kasus pada tahun 2024 sebanyak 573 kasus. Berdasarkan data bahwa jenis kekerasan dengan kasus tertinggi adalah bullying persentasenya 31% dari keseluruhan jenis kasus kekerasan yang lain. (JPPI, 2024).

Hal tersebut menjadi paradoks, sebab jika mengacu pada teori perkembangan kognitif jenjang sekolah dasar merupakan fase perkembangan anak-anak seusia 7-9 tahun. Mereka memahami realitas dengan pemahaman simbolik dan meniru. Jika kasus bullying terjadi pada anak-anak sekolah dasar, ini menjadi bukti kegagalan fungsi sosial sekolah.

Dalam teori fungsionalisme yang dicetuskan oleh Emile Durkheim dijelaskan bahwa kehidupan sosial itu sebagai sistem yang terdiri dari bagian yang saling berfungsi untuk menciptakan keteraturan sosial. Keteraturan sosial salah satunya dapat ditempuh dan dibangun dengan memahami aktivitas atau realitas pendidikan. (Rakhmat Hidayat, 2014).

Dengan keadaan seperti demikian maka keterdesakan harus diselenggarakan pendidikan karakter yang masif adalah hal yang wajib. Bentuk pengejawantahan pendidikan karakter tersebut harus menyentuh ranah Afektif, Kognitif dan Psikomotorik yang didasarkan pada teori seorang tokoh psikologi pendidikan yakni Benjamin S Bloom yang memiliki gagasan tentang pendidikan holistik.

Pendidikan karakter adalah upaya untuk membentengi siswa-siswi terhadap penyimpangan sosial yang degradatif secara moral, apalagi di tengah arus informasi yang begitu deras. Penanaman pendidikan karakter harus ditanamkan sejak jenjang pendidikan dini karena pada tahap tersebut pemikiran anak berada pada fase perkembangan yang mudah dipengaruhi. Nilai-nilai kebaikan dan kebenaran harus dikenalkan dan diinternalisasi kepada anak-anak usia dini untuk membangun sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki kecakapan teoritis juga bangunan diri yang berkarakter. (Fatchul Mu’in, 2020).

Menjawab Tantangan atas Problem yang Kompleks

Pendidikan karakter merupakan salah satu prioritas yang direncanakan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti. Sebagai bukti bagaimana ketika beliau memberikan penjelasan saat agenda Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI pada November Tahun 2024 bahwa pendidikan tidak hanya bicara pada tataran teoritis saja. Namun juga bagaimana siswa-siswi mampu untuk menjadi pribadi yang lebih berkarakter.

Maka keseriusan Prof. Abdul Mu’ti tersebut dilegitimasi dalam program Tujuh Kebiasaan Anak Hebat. Program tersebut diharapkan mampu menciptakan budaya konstruktif baru yang dapat menyentuh seluruh catur pusat pendidikan yakni (Keluarga, Sekolah, Masyarakat dan Media). Diharapkan program ini menjadi cahaya di tengah degradasi moral yang terjadi pada masyarakat dengan menyasar aspek moral, tanpa menghilangkan aspek akademis sebagai bentuk penyeimbangan. Pembangunan karakter yang kuat salah satu kunci untuk menjawab tantangan masa depan yang begitu besar.

Bangun pagi, beribadah, olahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat, menjadi program andalan yang digaungkan Kemendikdasmen sebagai bentuk tanggung jawab yang melingkupi dan menyentuh berbagai dimensi dalam konteks dunia pendidikan. Artinya bahwa dimensi pendidikan dengan nilai-nilai yang dicanangkan dalam program tujuh kebiasaan anak hebat tersebut, dirasa memiliki demarkasi dalam konteks pendidikan formal. Maka kini sudah dilegitimasi dan sifatnya mengikat untuk dilaksanakan dengan harapan siswa-siswi Indonesia menjadi manusia yang gemilang dan berkarakter.

Relevansi tujuh nilai dengan realitas sosial
salah satu nilai yang digaungkan adalah bermasyarakat. Bermasyarakat merupakan perwujudan yang lahir dan berangkat dari nilai luhur bangsa Indonesia. Nilai tersebut merupakan akar kebudayaan bagaimana bangsa Indonesia masih bertahan sampai detik ini dengan ragam budaya yang multikultural. Sehingga, nilai tersebut akan sangat signifikan jika implementasi di lapangan benar-benar terjadi. Ini sejalan dengan teori Durkheim bahwa realitas sosial terdiri dari berbagai macam bagian yang saling berfungsi satu sama lain untuk menciptakan keteraturan sosial. Bermasyarakat adalah salah satu upaya untuk menciptakan keteraturan sosial. [*]