KABAR BIREUEN – Aceh sebagai daerah terdepan yang terlibat dalam penyelamatan pengungsi di Indonesia.

Hal tersebut dikatakan oleh Ketua DPR Aceh Saiful Bahri (Pon Yahya) dalam pidatonya saat pembukaan seminar internasional yang bertema “Rescue of Refugees at The Sea: Loopholes Between Indonesian Law and Adat Aceh” yang digelar Yayasan Geutanyoe di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Selasa (28/06/2022).

“Para nelayan tetap harus menjaga kedaulatan Aceh dan negara, selain itu kemanusiaan juga harus kita selamatkan. Di samping itu juga hukum adat laut Aceh ini sejalan dengan hukum laut internasional (UNCLOS), juga harus kita pertahankan,” sebutnya.

Aksi penyelamatan pengungsi yang dilakukan nelayan Aceh selama ini, katanya, sesuai dengan hukum adat nelayan Aceh, mewajibkan nelayan Aceh untuk menolong siapapun yang membutuhkan bantuan di laut. Hal tersebut sejalan dengan hukum laut internasional (UNCLOS).

Ia menambahkan, melalui seminar internasional tentang penyelamatan di laut ini, dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat dipadukan antara hukum internasional, hukum nasional dan hukum adat, dalam upaya penangganan pengungsi sehingga bisa jadi produk hukum yang memberikan perlindungan bagi penyelamat berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Selain permasalahan pengungsi rohingya, Aceh juga ada masalah besar tentang sangketa empat pulau dengan Provinsi Sumatra Utara,

“Sangketa tersebut bisa mengarahkan bentrok fisik antra nelayan Aceh dengan nelayan Sumut. Apabila tidak diantisipsi dapat menyebabkan desintegrasi bangsa, ” paparnya.

Permasalahan batas Aceh menjadi poin penting salah satu perjanjian damai Aceh terkhusus poin 1.1.4 tentang perbatasan Aceh dan poin 1.1.4 tentang teritorial laut Aceh yang tercantum dalam MoU Helsinki.

DPR Aceh nerharap kepada pemerintah pusat dan juga Pemerintah Aceh agar segera menyelesaikan sangketa 4 pulau tersebut, sebelum potensi konflik itu terjadi.

“Pemerintah pusat telah memutuskan sepihak dan tidak merujuk ke peta 1 Juli 1956 sehingga bisa kita katakan keputusan tersebut cacat hukum,” ucap Pon Yahya.

Permasalahan Aceh, katanya, tidak hanya persoalan sektoral umum saja, tetapi harus dikaitkan dengan MoU Helsinki yang sudah menjadi semacam konstitusi baru bagi Aceh. (Red)