KABAR BIREUEN – Wakil Ketua DPRA Safaruddin SSos MSP mengatakan sejumlah persoalan masih menjadi problem serius bagi Aceh saat ini dan kedepan.
Dari berkurangnya penerimaan dana otsus mulai tahun depan menjadi 1 persen DAU nasional, peredaran narkoba, kekerasan seksual, hingga kemiskinan dan kondisi ekonomi Aceh yang masih belum merata.
Kondisi tersebut disampaikan Safaruddin saat memimpin rapat paripurna pengukuhan dan pelantikan Saiful Bahri alias Pon Yaya sebagai ketua DPRA sisa masa jabatan 2019-2024 di gedung DPRA, pada Jumat (13/05/2022).
Di penghujung rapat paripurna tersebut, Safaruddin yang saat itu masih berstatus sebagai Plt ketua DPRA, menyampaikan beberapa catatan penting kepada ketua DPRA yang baru, Pon Yaya.
Politikus muda Partai Gerindra ini mengungkapkan selama ini komunikasi dengan pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh telah terjalin dengan baik.
“Maka kami harap agar komunikasi tersebut terus ditingkatkan demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Aceh yang kita cintai,” pintanya.
Safaruddin juga mengingatkan Pon Yaya bahwa ke depan DPRA secara kelembagaan, dihadapkan oleh beberapa tugas yang perlu disikapi dengan serius.
Di antaranya mengenai rencana perubahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang sampai saat ini sudah masuk dalam Prolegnas DPR RI.
“Kita mengharapkan bahwa revisi UUPA dapat mengakomodir seluruh butir-butir dari MoU Helsinki. Kepada DPRA sebagai lembaga representatif rakyat Aceh mampu memberi kontribusi yang konkrit terhadap dinamika tersebut,” ujarnya.
Ditambahkannya, konsekuensi dari rencana perubahan UUPA sangatlah luas, salah satunya terkait dengan dana otonomi khusus (otsus) Aceh yang sebentar lagi akan berkurang.
Sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 183 ayat (2) yang menyebutkan bahwa dana otonomi khusus berlaku untuk jangka waktu 20 tahun.
Untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke 15 yang besarnya setara dengan 2% plafon dana alokasi umum nasional, dan untuk tahun ke 16 sampai tahun ke 20 yang besarnya setara dengan 1% plafon dana alokasi umum nasional.
“Kita sangat mengharapkan besaran dana otsus sebesar 2% dalam perubahan UUPA nantinya tetap dipertahankan, di samping pasal-pasal lain dalam UUPA yang perlu penguatan dan penyempurnaan,” urainya.
Perihal lain yang tak kalah penting untuk dicatat bersama mengenai kondisi kehidupan masyarakat, mulai dari kriminalitas, penyalahgunaan dan peredaran narkoba serta kekerasan seksual.
“Aceh merupakan nanggroe yang menjalankan syariat Islam dan kekhususan-kekhususan lainnya. Sungguh sangat miris dan menyayat hati kita semua, dimana kasus-kasus penyalahgunaan dan peredaran narkoba serta kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak terus terjadi,” sebutnya.
“Kondisi ini menjadi tanggungjawab kita semua, baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menyatakan perang terhadap narkoba dan kekerasan seksual,” paparnya.
Dari sisi lain, Aceh juga dihadapkan pada persoalan kesehatan, isu stunting masih menjadi kekhawatiran semua. Safaruddin mengajak semua pihak, untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap permasalahan ini.
“Salah satu solusinya adalah mempertahankan keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), dan program pemerintah lainnya yang berorientasi kepada upaya peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan,” lanjutnya lagi.
Kemudian permasalahan lain yang tidak kalah penting, tambah Safaruddin, terkait dengan kualitas pendidikan Aceh dimana masih di bawah rata-rata pendidikan nasional.
Padahal pendidikan merupakan hak dasar warga negara sebagaimana diamanahkan oleh undang-undang, demikian juga dana otsus selama ini dialokasikan untuk menanggulangi masalah tersebut cukup besar (minimal 20%).
“Maka hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi kita bersama demi generasi Aceh yang lebih baik ke depan,” sebut Safaruddin yang berasal dari Aceh Barat Daya (Abdya) ini.
Selain hak dasar kesehatan dan pendidikan, lanjut Safaruddin, isu kemiskinan juga menjadi cambuk bagi Aceh. Terlepas dari parameter yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), namun hal ini perlu menjadi bahan introspeksi dan renungan bagi pemangku kepentingan dalam menetapkan kebijakan-kebijakan ke depan. (Red)