Ketua Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe, Yedi Suparman, S.H.I., M.H. (Foto: Ist)

KABAR BIREUEN, Lhokseumawe – Angka perceraian di wilayah Lhokseumawe menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Hingga akhir Maret 2025 (Triwulan I) , Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe mencatat sebanyak 86 perkara perceraian telah diterima, terdiri dari 19 perkara cerai talak dan 67 perkara cerai gugat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 72 perkara telah diputus.

Data tersebut merujuk pada laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe, Senin, 14 April 2025.

Menanggapi tingginya angka perceraian tersebut, Ketua Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe, Yedi Suparman, S.H.I., M.H., melalui Panitera, Fauzi, S.Ag., menyampaikan keprihatinannya. Dia menyebutkan, bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi momentum memperkuat ikatan keluarga, ternyata tidak mampu menekan angka perceraian.

“Ini baru Triwulan I, tapi angka perceraian sudah mencapai dua digit dan berpotensi terus meningkat,” ujarnya.

Dijelaskan Fauzi, penyebab utama perceraian di Lhokseumawe masih berkutat pada persoalan klasik, seperti perselisihan terus-menerus, masalah ekonomi, penelantaran oleh pasangan, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Menurut Fauzi, untuk menekan laju perceraian, diperlukan peran aktif dari berbagai pihak, termasuk Kantor Urusan Agama (KUA) melalui program bimbingan pranikah, penyuluhan hukum oleh pemerintah daerah, serta kontribusi dari tokoh masyarakat dan ulama.

“Semua pihak harus berperan aktif dalam upaya menekan angka perceraian ini. Pasangan suami istri juga dituntut untuk lebih sabar dan menjaga komitmen dalam rumah tangga,” harapnya.

Dia juga menyoroti pentingnya menghindari pernikahan usia dini. Sebab, hal ini kerap menjadi awal dari ketidaksiapan mental dan ekonomi pasangan dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Akibatnya, berakhir dengan perceraian. (Suryadi)