Oleh: Anwar, S.Ag, M.A.P
MINGGU pagi (9/11/2005) sekitar pukul 09.00 WIB, saya beranjak dari Bireuen menuju Samalanga, sebuah kecamatan di perbatasan sebelah barat Kabupaten Bireuen dengan Pidie Jaya.
Rencana awal saya untuk memenuhi undangan Maulid Nabi Muhammad SAW di Gampong Lancok. Jalan berliku di sepanjang pesisir utara Aceh terasa hangat oleh hiruk-pikuk masyarakat yang sedang bersiap menyambut perayaan penuh berkah itu.
Seusai menghadiri acara maulid, menjelang waktu Zuhur, saya berencana singgah ke pusat Kecamatan Samalanga, sebuah wilayah yang sejak lama dijuluki Kota Santri, sambil minum kopi sareng di warkop Atra.
Namun, kendaraan tua saya terhenti ketika suara azan Zuhur menggema dari kejauhan. Sumbernya adalah Masjid Jamik Kuta Blang, sebuah rumah ibadah mungil bersejarah yang pernah saya kunjungi lebih dari satu dekade silam. Rasa rindu seketika menyeruak. Saya memutuskan singgah sejenak.
Dari kejauhan, kubah masjid tampak lebih megah, dindingnya semakin tegas dengan sentuhan renovasi, namun roh arsitektur lamanya masih terasa kuat, tetap anggun dengan kesederhanaan khas masjid tua Aceh. Di sinilah, di antara desir angin Kota Santri yang tenang, jejak panjang sejarah Islam di Bireuen seolah berbisik lewat setiap tiang dan batu dindingnya.
Setelah menunaikan salat Zuhur, suasana di pelataran masjid terasa damai. Angin lembut berhembus dari arah sawah di depan kompleks, membawa aroma khas pedesaan Aceh yang sejuk dan menenangkan.
Beberapa jamaah masih duduk berzikir, sebagian lainnya tampak berdiskusi ringan tentang sejarah masjid yang konon telah berdiri sejak masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah, era kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam. Saya berusaha menguping dan mendekat, diskusi pun berlanjut.
Masjid Jamik Kuta Blang bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah naskah sejarah yang terukir dalam bentuk bangunan, menyimpan kisah-kisah yang memadukan realitas sejarah, spiritualitas masyarakat dan sedikit sentuhan mitologi lokal.
Di sinilah mengapa masyarakat menyebutnya “Masjid Jin”. Sebutan itu muncul bukan semata karena rasa takut atau tahayul, tetapi sebagai bentuk pengakuan terhadap dimensi gaib yang dipercayai turut menjaga kesucian masjid ini sejak ratusan tahun silam.
Menurut penuturan tokoh agama di sana, Masjid Jamik Kuta Blang berdiri pada tahun 1901 M di bawah inisiatif Teungku H. Syekh Abdul Jalil, seorang ulama yang pulang dari Mekkah membawa semangat dakwah dan ilmu keislaman. Lahan masjid merupakan wakaf keluarga Ampon Syik H. Muhammad Ali Basyah, dibantu oleh masyarakat setempat yang saat itu baru saja melewati masa sulit akibat perang Aceh.
Bila dihitung masjid kecil itu sudah berdiri selama 124 tahun yang lalu. Menariknya, setiap shalat Jumat masjid itu selalu penuh dengan jamaah sejak berdiri sampai sekarang dan selalu muat jamaah walau ukuran masjidnya tidak bertambah, sementara kepadatan penduduk semakin meningkat
Menurut informasi, pembangunan masjid ini melibatkan seorang kepala tukang muallaf asal Cina bernama Ibrahim, yang menggabungkan gaya bangunan Timur Tengah dengan sentuhan ornamen oriental. Itulah sebabnya, jika diperhatikan, kita menemukan paduan artistik yang unik: kubah bundar bergaya Arab, pilar putih tinggi bergaya Eropa, dan jendela berhias motif bunga yang mengingatkan pada arsitektur Tionghoa.
Kehadiran masjid ini sejak awal tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat pembelajaran agama dan tempat musyawarah masyarakat. Di halaman belakangnya terdapat beberapa makam ulama dan tokoh penting Samalanga, seperti makam Tun Sri Lanang, bukti kuat hubungan antara keilmuan, spiritualitas dan sejarah lokal.
Masjid Jamik Kuta Blang adalah contoh hidup akulturasi budaya dalam dunia Islam Aceh. Pilar-pilar tinggi yang menopang serambi meniru bentuk bangunan kolonial Belanda; sedangkan kubah utama bercorak Timur Tengah dengan warna kuning keemasan yang melambangkan kemuliaan ilmu.
Bagian atap masjid memiliki tiga tingkatan: melambangkan tiga fase spiritual dalam ajaran tasawuf syariat, tarekat dan hakikat. Sementara pintu gerbang utama dihiasi ukiran geometris khas Aceh yang menggambarkan keteraturan alam dan ketaatan pada Tuhan. Setiap detail arsitektur mengajarkan bahwa Islam di Aceh tidak datang dengan memutus tradisi, melainkan menyerap dan memuliakan kebudayaan lokal.
Asal-usul Sebutan “Masjid Jin”
Julukan “Masjid Jin” muncul dari kisah yang diwariskan turun-temurun. Diceritakan bahwa pada masa Syekh Abdul Jalil, setiap malam Jumat diadakan pengajian dan zikir di masjid ini. Para jamaah merasakan adanya dua bagian ruang yang dipisahkan dengan tirai. Satu sisi untuk manusia, satu sisi lagi diyakini untuk jamaah jin muslim yang juga turut beribadah.
Suatu malam, salah seorang jamaah disebut mencoba menyingkap tirai itu dan melihat barisan makhluk berwajah bercahaya. Namun karena rasa takjub dan tawa manusia itu memecah kekhusyukan, tirai gaib itu pun tak pernah terbuka lagi.
Apakah kisah ini fakta spiritual atau sekadar folklor? Sulit dibuktikan secara ilmiah. Tetapi dalam tradisi Islam, keberadaan jin yang beriman bukan hal asing. Banyak ulama menafsirkan kisah ini sebagai simbol keterbukaan rumah Allah bagi seluruh makhluk-Nya, baik yang tampak maupun tak tampak.
Ada juga cerita lain yang berkembang di masyarakat bahwa asal mula disebut Masjid Jin, karena model arsitektur masjid diambil dari masjid di Kampung Jin dekat Masjidil Haram di pinggiran Kota Mekkah. Pendiri Masjid Teungku H. Syekh Abdul Jalil konon sering bepergian dan shalat Jumat di sana. Pada saat mau mendirikan masjid, ia membawa pulang gambar arsitektur dari Mekkah. Tapi gambar dimaksud juga belum pernah ditemukan dan belum ada dalam literasi sejarah.
Dulunya, masjid ini tidak hanya menjadi tempat salat berjamaah, tetapi juga pusat dakwah dan pendidikan tumbuhnya dayah-dayah sekitar Samalanga yang kemudian dijuluki sebagai kota santri. Kini, Banyak mahasiswa dan peneliti datang untuk menulis tentang arsitektur dan nilai sejarahnya. Pemerintah daerah pun telah menetapkan masjid ini sebagai cagar budaya Bireuen.
Namun yang paling menarik adalah cara masyarakat tetap mempertahankan kesakralan tempat ini. Tak ada yang berlebihan, tak ada yang dimitoskan secara ekstrem. Mereka menganggap kisah “jin” bukan hal menakutkan, melainkan pengingat bahwa alam ini luas dan kuasa Allah meliputi segalanya.
Cermin Akulturasi dan Keimanan
Masjid Jamik Kuta Blang Samalanga adalah cermin perjumpaan antara sejarah, budaya dan iman. Ia mengajarkan bahwa Islam tidak meniadakan identitas lokal, tetapi menguatkannya melalui ilmu, arsitektur, dan adab.
Sebagaimana dua tirai yang pernah memisahkan jamaah manusia dan jin, mungkin pesan sejatinya bukan tentang “dunia gaib”, melainkan tentang batas antara ilmu dan keangkuhan, antara yang tampak dan yang tak kasat mata. Selama tirai kesadaran itu masih ada, manusia akan terus belajar menundukkan diri di hadapan Sang Pencipta.
Masjid Jin Samalanga bukan sekadar bangunan tua; ia adalah prasasti spiritual yang mengajarkan keseimbangan antara iman, akal dan budaya. Di tengah arus modernisasi, keberadaannya mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak selalu berarti meninggalkan akar, tapi justru merawatnya dengan cinta dan pengetahuan. [*]
*Penulis adalah ASN dan pemerhati budaya Islam Aceh, berdomisili di Kabupaten Bireuen.










